Melanjutkan tulisan saya Perbandingan Surga & Neraka dalam Islam dan Buddha (bagian 1)
Pada bagian ke-2 ini saya hendak membahas mengenai rupa-loka dan arupa-loka. Namun sebelumnya saya ingin membahas sekilas tentang JHANA (Pali) / DHYANA (Sanskerta). Dalam Samyutta Nikaya 2,7 dan Anguttara Nikaya IX, 42 mengatakan bahwa Buddha menemukan JHANA . Selain itu dalam Samyutta Nikaya 45, 14-17 dikatakan bahwa empat jhana muncul bersamaan dengan kemunculan sesosok Buddha.
Beberapa orang mungkin mengajukan keberatan, tidakkah guru-guru Buddha sebelumnya, Alara Kalama dan Uddaka Ramaputta mengajarkan "jhana". Dalam Majjhima Nikaya 108,27 dijelaskan pencapaian nirwujud yang mereka jalani bukanlah jhana yang sesungguhnya, namun pengalaman lain yang hanya memiliki nama yang sama yang tidak menghantar pada pencerahan. Jauh pada masa sebelumnya, pada masa Buddha Kassapa masyarakat kuno india sangat mengenal jhana, banyak dari mereka yang telah mencapai pencerahan melalui jhana. Namun pada masa hidup Buddha Gotama, semua pengetahuan tentang jhana telah hilang, lenyap, tidak diketahui lagi oleh seluruh lapisan masyarakat india saat itu. Mahavira pemimpin kaum jain pun menganggap asing tentang jhana bahkan menolaknya, dalam kitab Veda pun tidak ada penjelasan tentang jhana/dhyana, maupun dalam literatur-literatur lainnya yang ada saat itu. (mengapa? Akan saya tulis dalam ulasan tersendiri dengan topik Buddhisme dan Hinduisme).
Lantas apa itu JHANA? JHANA merupakan sarana penting dan salah satu jalan utama dalam "jalan tengah" jalan yang telah ditemukan kembali oleh Buddha Gotama dan diajarkan kepada kita untuk mencapai rupaloka, arupaloka, bahkan jhana mampu menghantarkan kita ke pencapaian Nibbana/Nirvana.
JHANA merupakan pengalaman meditasi yang mendalam. Unsur pertama yang membangkitkan jhana adalah NIMITTA. Nimitta merupakan "gambaran batin", seperti diri yang melihat pantulannya saat bercermin. Nimitta ini muncul jika 5 rintangan meditasi (nivarana) dapat diatasi yaitu: 1) napsu indrawi; 2) niat buruk; 3) kemalasan dan kelambanan; 4) kegelisahan dan penyesalan; 5) keragu-raguan. Pada dasarnya dengan moralitas yang baik, keuletan dan atusiasme dalam meditasi yang benar akan memunculkan nimitta. Dalam teks-teks Buddhis umumnya nimitta berbentuk cahaya putih, cahaya keemasan, atau bagaikan cahaya butiran mutiara biru. Saat melihat nimitta bukan berarti kita melihat dengan mata telanjang, saat nimitta muncul seluruh pancaindra kita berhenti, jadi jika salah satu organ indra kita masih bekerja, misalkan kita masih bisa mendengar, cahaya yang kita lihat saat meditasi bukanlah nimitta. Kadang nimitta diartikan sebagai "patisamvedi" yaitu "mengalami pikiran" atau objek batin yang murni, nimitta merupakan pantulan batin kita sendiri. Buddha mengatakan semakin tinggi moralitas yang kita kembangkan, misalkan pengembangan cinta kasih dan rasa welas asih yang tulus yang universal (metta - karuna) akan memunculkan nimitta yang stabil, indah, cemerlang dan bertahan lama sekali, cahaya nimitta semakin terang bendera dan menyelimuti diri kita.
Selain nimitta, unsur lain jhana adalah VITAKA-VICARA, VITAKA adalah pergerakan otomatis yang bukan atas kehendak kita terhadap kebahagiaan yang muncul karena nimitta, sedangkan VICARA merupakan kesinambungan yang terus-menerus tanpa disengaja terhadap kebahagiaan nimitta.
Nimitta dan Vitaka-Vicara, yang dikembangkan secara terus-menerus akan menghadirkan EKAGGATA. Ekaggata adalah kata majemuk Pali yang berarti "satu kepuncakan. Kata tengahnya yaitu agga (Sanskerta: agra) yang berarti puncak gunung, puncak sebuah pengalaman. EKAGGATA sering diartikan sebagai kemanunggalan pada sesuatu yang memuncak, keheningan yang memuncak, keadaan yang terbebas dari waktu dan dualisme.
Nimitta - Vitaka-Vicara - Ekaggata yang dilatih sedemikian rupa akan menghasilkan PITI-SUKHA yaitu kebahagiaan yang luar biasa sekali. Dengan pancaindra kita bisa merasakan kebahagiaan, namun piti-sukha dialami sebagai kebahagiaan yang melampaui apa pun yang ada di dunia materi.
Nimitta - Vitaka-Vicara - Ekaggata - Piti-Sukha merupakan unsur utama dalam jhana pertama.
Faktor utama dari Jhana pertama adalah ekaggata dan piti-sukha, oleh karena itu ketika perasaan yang timbul setelah menyelesaikan meditasi jhana pertama adalah kemanunggalan dan kebahagiaan yang luar biasa. Tradisi-tradisi mistik lainya sering mengartikan sebagai "penyatuan dengan Tuhan" / "manunggaling kawula gusti", kemutlakan, keheningan, ekstansi, suatu keadaan trance, ketanpa-akuan.
Saat pancaindra dan seluruh gema pancaindra terwujud dalam pemikiran-pemikiran telah "ditidurkan", kita meninggalkan dunia tubuh dan dunia materi (kamaloka) dan telah memasuki dunia pikiran murni (rupaloka). Pengalaman jhana pertama bagaikan sengatan halilitar yang membangkitkan perasaan kemanunggalan dan kebahagiaan tiada tara.