Preferensi orang tua dalam memilih sekolah bagi anaknya dipengaruhi berbagai faktor. Namun pada umumnya, orang tua akan memilih sekolah berdasar kriteria kegunaan, manfaat atau faedahnya (utilitas). Sekolah yang dianggap bermanfaat bagi kesejahteraan anak di masa depan maka sekolah itulah akan dipilih. Ini merupakan preferensi umum cara orang tua melakukan pilihan.
Sekolah bagaimana yang akan dipilih oleh orang tua? Sebagai contoh, kita amati ketika orang tua memilih TK (Taman Kanak Kanak) dalam menyekolahkan anaknya. Mereka akan memilih TK yang menghasilkan lulusan berkemampuan membaca dan menulis. Padahal menurut beberapa ahli pedagogi, pendidikan TK merupakan tempat anak mengeksplorasi kemampuan imaginasi dan kreativitasnya melalui kegiatan bermain. Tetapi kenyataan, itulah yang terjadi. Begitu pula, di SMP dan atau SMA, orang tua akan memilih yang menghasilkan lulusan dengan nilai UN tinggi.
Sekolah sebagai proses transformasi faktor input ( menjadi output (lulusan). Faktor input yang paling penting adalah siswa, disamping faktor lainnya. Seleksi calon siswa merupakan cara penting untuk mendapatkan siswa dengan kemampuan yang terbaik. Karena itu, ketika sekolah dipenuhi oleh siswa yang berkemampuan tinggi maka dapat dipastikan sekolah akan dengan mudah mentransformasikannya menjadi lulusan yang berkualitas.
Pada giliranya, preferensi orang tua banyak ditentukan oleh faktor lulusan, bukan proses berlangsungnya pendidikan di sekolah tersebut. Bagi orang tua, ukurannya sederhana, siswa lulus dengan nilai terbaik sebagai tiket memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Beberapa bulan lagi, orang tua akan memilih sekolah bagi anaknya. Bagaimana jika pemerintah daerah menetapkan regulasi penerimaan siswa baru menggunakan sistem zoning (rayon). Ini implikasinya.
Pertama, pilihan sekolah semakin terbatas. Orang tua hanya dapat memilih sekolah yang terdapat dalam zonasinya. Maka nilai utilitas sekolah akan semakin berkurang, kecuali di zona tersebut terdapat sekolah kategori unggul. Mungkin tahun depan dampak sistem zonasi ini akan terlihat di sekolah, terutama di sekolah yang biasa dipenuhi oleh calon siswa yang menpunyai kemampuan awal (entry behavior) bagus—apakah masih akan menghasilkan lulusan berkualitas?
Kedua, bagi orang tua yang tidak menggunakan kriteria preferensi seperti yang dikemukakan di atas maka sistem ini lebih efisensi karena bisa menghemat biaya transportasi anak ke sekolah.
Ketiga, terjadinya keberagamaan raw input (calon siswa). Sekolah akan menpunyai siswa yang beragam ditinjau dari kemampuan awal (entry behavior). Ini merupakan peluang untuk pemerataan mutu sekolah. Mengapa ? dalam beberapa hasil riset (Froomkin Ed., 1976) kolaborasi antara siswa berkemampuan tinggi dengan yang biasa-biasa saja jika dikelola dengan baik dalam suatu proses pendidikan akan menghasilkan pemerataan kualitas lulusan.
Lalu, bagaimana implikasinya apabila penerimaan siswa baru tidak dibatasi oleh zonasi.
Pertama, pilihan orang tua akan lebih banyak. Orang tua bebas menentukan pilihan sesuai dengan preferensinya. Sekolah akan bersaing dalam penerimaan siswa baru terutama persaingan akan ditentukan oleh kemampuan awal siswa yang dinyatakan secara kuantitatif melalui nilai UN.
Kedua, akan terjadi kategorisasi sekolah unggul dan sekolah biasa-biasa saja. Fenomena ini terjadi secara alamiah siswa yang kemampuan awalnya biasa saja akan berkelompok di sekolah biasa-biasa saja dan siswa berkemampuan awal tinggi akan mengelompok di sekolah yang terbiasa di sebut sekolah unggul.
Ketiga, akan terjadi kesenjangan kualitas antar sekolah ditinjau dari lulusannya. Hal ini akan menjadi kendala dalam upaya pemerataan mutu. Karena sampai pada saat ini, faktor raw input (siswa) masih dipandang sebagai hal yang menentukan kualitas lulusan sekolah.
Campur Tangan Pemerintah
Masalah kesenjangan kualitas antar sekolah dalam dunia pendidikan telah lama berlangsung, tidak hanya di Indonesia. Regulasi, fasilitasi dan bimbingan merupakan upaya pemerintah dalam meningkatkan pemerataan mutu antar sekolah di suatu daerah sangat tergantung kemampuan dan kemauan politik pemerintah daerah (otonomi pendidikan).
Sistem pemerimaan siswa baru melalui zoning atau kluster menpunyai kelebihan dan kekurangannya ditinjau dari sudut pandang pemerataan mutu pendidikan dalam suatu daerah. Supaya fair, pemerintah daerah seharusnya memberikan informasi secara merata kepada orang tua mengenai setiap layanan yang disediakan selama proses pendidikan berlangsung, sumber daya, kompetensi tenaga pendidikan dan kependidikan, serta profil lulusannya. Sebab informasi tersebut merupakan dasar bagi orang tua dalam melakukan pilihannya. Dalam kasus tertentu, banyak sekolah yang berkualitas ditinjau dari sisi proses tetapi luput dijadikan pertimbangan orang tua karena informasi yang terbatas.
Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, termasuk berhak mendapatkan layanan yang berkualitas. Karena itu, pemerintah wajib melakukan pemerataan mutu supaya tidak terjadi kesenjangan hak untuk memperoleh pendidikan bermutu. Inilah rasional pentingnya campur pemerintah dalam penerimaan siswa baru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H