Lihat ke Halaman Asli

Preferensi Orang Tua Dalam Memilih Sekolah

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Preferensi orang tua dalam memilih sekolah bagi anaknya dipengaruhi berbagai faktor. Namun pada umumnya, orang tua akan memilih sekolah  berdasar kriteria kegunaan, manfaat atau faedahnya (utilitas). Sekolah yang dianggap bermanfaat bagi kesejahteraan anak di masa depan maka sekolah itulah akan dipilih. Ini merupakan preferensi umum cara orang tua melakukan pilihan.

Sekolah bagaimana yang akan dipilih oleh orang tua? Sebagai contoh, kita amati ketika orang tua memilih TK (Taman Kanak Kanak) dalam  menyekolahkan anaknya. Mereka akan memilih TK yang menghasilkan lulusan berkemampuan membaca dan menulis. Padahal menurut beberapa ahli pedagogi, pendidikan TK merupakan tempat anak mengeksplorasi kemampuan imaginasi dan kreativitasnya melalui kegiatan bermain. Tetapi kenyataan,  itulah yang terjadi. Begitu pula, di SMP dan atau SMA, orang tua akan memilih yang menghasilkan lulusan dengan nilai UN tinggi.

Sekolah sebagai proses transformasi faktor input ( menjadi output (lulusan). Faktor input yang paling penting adalah siswa, disamping faktor lainnya. Seleksi  calon siswa merupakan cara penting untuk mendapatkan siswa dengan kemampuan yang terbaik. Karena itu, ketika sekolah dipenuhi oleh siswa yang berkemampuan tinggi maka dapat  dipastikan sekolah akan dengan mudah mentransformasikannya menjadi lulusan yang berkualitas.

Pada giliranya, preferensi  orang tua banyak ditentukan oleh faktor lulusan, bukan proses berlangsungnya pendidikan di sekolah tersebut. Bagi orang tua, ukurannya sederhana, siswa lulus dengan nilai terbaik sebagai tiket memasuki  jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Beberapa bulan lagi, orang tua akan memilih sekolah bagi anaknya. Bagaimana jika pemerintah daerah menetapkan regulasi penerimaan siswa baru menggunakan sistem zoning (rayon). Ini implikasinya.

Pertama, pilihan sekolah semakin terbatas. Orang tua hanya dapat memilih sekolah yang terdapat dalam zonasinya. Maka nilai utilitas sekolah  akan semakin berkurang, kecuali di zona tersebut terdapat sekolah kategori unggul. Mungkin tahun depan dampak sistem zonasi ini akan terlihat di sekolah, terutama di sekolah yang biasa dipenuhi oleh calon siswa yang menpunyai kemampuan awal (entry behavior) bagus—apakah masih akan menghasilkan lulusan berkualitas?

Kedua, bagi orang tua yang tidak menggunakan kriteria preferensi seperti yang dikemukakan di atas maka sistem ini  lebih efisensi karena bisa menghemat biaya transportasi anak ke sekolah.

Ketiga, terjadinya keberagamaan raw input (calon siswa). Sekolah akan menpunyai siswa yang beragam ditinjau dari kemampuan awal (entry behavior). Ini merupakan peluang untuk pemerataan mutu sekolah. Mengapa ? dalam beberapa hasil riset (Froomkin Ed., 1976) kolaborasi antara siswa berkemampuan tinggi dengan yang biasa-biasa saja jika dikelola dengan baik dalam suatu proses pendidikan akan menghasilkan pemerataan kualitas lulusan.

Lalu,  bagaimana implikasinya apabila penerimaan siswa baru tidak dibatasi oleh zonasi.

Pertama,  pilihan orang tua akan lebih banyak. Orang tua bebas menentukan pilihan sesuai dengan preferensinya. Sekolah akan bersaing dalam penerimaan siswa baru terutama persaingan akan ditentukan oleh kemampuan awal siswa yang dinyatakan secara kuantitatif melalui nilai UN.

Kedua, akan terjadi kategorisasi sekolah unggul dan sekolah biasa-biasa saja. Fenomena ini terjadi  secara alamiah siswa yang kemampuan awalnya biasa saja  akan berkelompok  di sekolah biasa-biasa saja dan  siswa  berkemampuan awal tinggi akan mengelompok  di sekolah yang terbiasa di sebut sekolah unggul.

Ketiga, akan terjadi kesenjangan kualitas antar sekolah ditinjau dari lulusannya. Hal ini akan menjadi kendala  dalam  upaya pemerataan mutu. Karena sampai pada saat ini, faktor raw input (siswa) masih dipandang sebagai hal yang menentukan kualitas lulusan sekolah.

Campur Tangan Pemerintah

Masalah kesenjangan kualitas  antar sekolah dalam dunia pendidikan telah lama berlangsung, tidak hanya di Indonesia. Regulasi, fasilitasi dan bimbingan merupakan upaya pemerintah dalam meningkatkan pemerataan mutu antar sekolah di suatu daerah sangat tergantung kemampuan dan kemauan politik pemerintah daerah (otonomi pendidikan).

Sistem pemerimaan siswa baru melalui zoning atau kluster  menpunyai kelebihan dan kekurangannya ditinjau dari sudut pandang pemerataan mutu pendidikan dalam suatu daerah. Supaya fair, pemerintah daerah seharusnya memberikan informasi secara merata  kepada orang tua mengenai  setiap layanan yang disediakan selama proses pendidikan berlangsung, sumber daya, kompetensi tenaga pendidikan dan kependidikan,  serta profil lulusannya. Sebab informasi tersebut merupakan dasar bagi orang tua dalam melakukan pilihannya. Dalam kasus tertentu, banyak sekolah yang berkualitas ditinjau dari sisi proses tetapi luput dijadikan pertimbangan orang tua karena informasi yang terbatas.

Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, termasuk berhak mendapatkan layanan yang berkualitas. Karena itu, pemerintah wajib  melakukan pemerataan mutu supaya tidak terjadi kesenjangan  hak untuk memperoleh pendidikan bermutu. Inilah rasional pentingnya campur pemerintah dalam penerimaan siswa baru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline