Lihat ke Halaman Asli

Sucy Fhatma

Mahasiswa

Panic Buying, Beri Esternalitas Negatif bagi Pemenuhan Kebutuhan Masyarakat

Diperbarui: 28 April 2020   22:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Sejak Covid-19 dinyatakan sudah sampai menyerang Indonesia, masyarakat terus menerus dihantui rasa takut dan perasaan tidak tenang. Masyarakat di seluruh belahan dunia khususnya Indonesia terus diliputi rasa cemas dan ketakutan besar. Masyarakat khawatir bahwa virus corona yang sudah sampai ke Indonesia ini dapat menyerang diri mereka sendiri, keluarga bahkan orang-orang sekitar. 

Terlebih sampai saat ini jumlah kasus yang dinyatakan positif Covid-19 di Indonesia terus bertambah setiap harinya. Berdasarkan data terbaru, pemerintah menyebut jumlah kasus positif terinfeksi virus COVID-19 yang berasal dari Wuhan, China bertambah sebanyak 396 kasus. Diketahui jumlah pasien yang berhasil sembuh dari Covid-19 berjumlah 1.002 orang dengan sebaran paling banyak di DKI Jakarta dan 720 orang lainnya dinyatakan meninggal dunia. Saat ini total kasus Covid-19 yang terjadi di Indonesia menjadi 8.607 kasus.

Peningkatan jumlah kasus dan penyebaran Covid-19 di Indonesia tak dapat dipungkiri mendorong masyarakat untuk melakukan berbagai upaya mitigasi dalam menghadapi Covid-19 ini. Sejak saat itu rasa panik dan kekhawatiran yang dirasakan masyarakat  memicu banyak orang melakukan tindakan panic buying. 

Panic buying merupakan salah satu dari sekian banyak fenomena yang ada selama Covid-19. Dilansir dari sebuah jurnal, panic buying menurut Enny Sri Hartati, selaku Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) dipicu oleh faktor psikologis yang terjadi karena informasi tidak sempurna atau menyeluruh yang diterima oleh masyarakat. 

Akibatnya, timbul kekhawatiran di masyarakat sehingga menimbulkan respons tindakan belanja secara pasif sebagai upaya penyelamatan diri. Masyarakat rela antre panjang memadati swalayan untuk membeli sejumlah kebutuhan secara massal. Parahnya bahkan ada yang melakukan penimbunan barang dengan alasan pemenuhan kebutuhan dalam beberapa waktu kedepan karena nantinya takut akan terhambat oleh aktivitas ekonomi dalam rentan periode tertentu.

Dampak dari panic buying tersebut dapat menyebabkan stok suatu barang menipis bahkan terparahnya sampai terjadi kelangkaan barang-barang yang justru paling dibutuhkan saat ini untuk menghadapi Covid-19 yang berimplikasi pada timpangnya antara jumlah permintaan dan penawaran suatu barang sebagai akibat dari lonjakan permintaan masyarakat dalam waktu yang singkat. 

Sedangkan jika dilihat dari sudut makro, panic buying dapat menciptakan pengurangan permintaan yang lebih tinggi sehingga mengarah pada inflasi harga yang lebih tinggi pula. Mirisnya tindakan panic buying ini tidak dilakukan oleh masyarakat yang benar-benar membutuhkan sehingga hal ini menciptakan suatu eksternalitas negatif secara tidak langsung bagi pihak-pihak yang justru tidak melakukan panic buying. Eksternalitas negatif berwujud tindakan seseorang memiliki dampak bagi orang lain yang tidak menerima kompensasi sehingga berujung pada sifatnya yang merugikan. 

Apabila eksternalitas sifatnya merugikan (negatif), perhitungan individu dalam mengkonsumsikan suatu barang tanpa memperhitungkan eksternalitas konsumsi yang negatif yang menyebabkan konsumsi tersebut berlebih-lebihan (terlalu banyak). Kasus tindakan panic buying ditengah Covid-19 memiliki eksternalitas negatif bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat dimana tindakan panic buying ini merugikan banyak pihak terutama bagi masyarakat menegah kebawah karena pada umumnya yang terus melakukan aksi panic buying atau pembelian barang kebutuhan pokok dalam skala besar secara berlebihan adalah justru masyarakat kalangan menegah keatas.

Masyarakat dari kalangan menengah kebawah mengalami kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Mereka tidak mempunyai kemampuan lebih untuk bisa membeli barang-barang kebutuhan pokok yang dibutuhkan dalam skala besar karena mayoritas pelaku panic buying didominasi oleh masyarakat kelas menegah atas. 

Para masyarakat kelas menegah kebawah hanya mampu membeli kebutuhan pokok sesuai dengan kebutuhan mereka serta kemampuan daya beli yang mereka miliki.  Selain itu, panic buying juga berdampak kerugian berupa kenaikan harga suatu barang kebutuhan yang menjadi langka disertai dengan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab menjual barang yang langka tersebut semata demi meraup keuntungan besar dengan harga yang cukup tidak masuk akal. 

Masyarakat ekonomi  lemah harus terkena eksternalitas negatif dari tindakan panic buying. Terlebih saat harga barang meningkat akibat terjadinya ketidakseimbangan pasar, mereka akan semakin sulit memenuhi kebutuhan sehari-hari padahal sudah seharusnya kita dapat lebih bijak, tidak egois, dan peka terhadap keadaan mereka yang bekerja seadanya untuk dapat membiayai kebutuhan sehari-hari. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline