Lihat ke Halaman Asli

Temui Aku di Ujung Senja Itu

Diperbarui: 25 Oktober 2015   23:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Berdua denganmu jauh lebih baik, aku yakin itu. Bila sendiri hati bagai langit berselimut kalbu. Itu kata sekaligus lagu yang menghiasi hari-hari ku saat dirinya hadir dan membuat duiaku sesak tanpanya.

Dunia yang kini bagiku sempit tak ada ruang sebutir padi pun memang benar - benar membuatku merasa ah jika sapaanya tak terdengar di telingaku. Aku pun mulai terbiasa dengannya yang selalu membuatku merasa begitu berarti baginya. Sungguhpun aku berusaha memungkiri, justru kesedihan dan rasa mencari yang aku dapatkan waktu demi waktu.

Semacam narkotika yang memiliki zat adiktif ampuh yang tak tertandingi oleh yang lainnya. Aku sendiri merasa ini mengapa duniaku jadi seperti dunia yang tak mengenal rasa lelah untuk bersama. Sungguh memberatkan jiwaku jika semuanya harus seperti ini dan tak mampu untuk ku hindari.

Kesukaanku terhadap film yang berbau romantis memang benar-benar membuatku terperdaya olehnya. Harapan, angan-angan dan cinta memang selalu terngiang dalam pikiran andainya hidupku beserta kisahnya layaknya cinta yang butuh perjuangan dengan romantisme romantisme yang pernah aku lihat di film-film sebelumnya. Padahal ini dunia bukan hayalan.

Cinta, deritanya memang tiada akhirnya. Cuplikan kata-kata yang pernah aku kihat dalam sebuah sinema yang pernah populer ketika aku masih duduk di bangku SD “ Kera Sakti:”. Cupatkai salah satu tokoh yang menderita karena cinta.

Apa itu cinta? Bolehkah aku mengenalnya? Namun hatiku tak cukup ruang untuk merasakan deritanya. Indah namun menyakitkan, lalu apa gunanya cinta mengisi namun sakitnya turut mengiringi. Kebahagiaan mana yang bisa di raih jika sakit ada bersamanya.

Semua kata yang ku untai bukan bualan semata yang hanya bisa dijadikan hiasan dalam kebohongan. Setiap kata yang terucap telah cukup mewakili semua rasa di hati yang terpendam dan bergejolak layaknya kawah gunung berapi yang ingin mengeluarkan magma nya.

Wahai kau cinta, sungguh hatiku telah bertekuk lutut padamu yang telah menawarkan kata-kata cinta seolah indahnya abadi. Yah memang indah nan menggoda jiwa namun mengelabui hati. Inikah keindahan yang kau tawarkan padaku agar aku menerima mu untuk menjadi bagian dalam hidup, atau sekedar ucapan menggiurkan untuk sejenak singgah kemudian enyah.

Keindahanmu selalu ku puja di sepanjang mata ini terbuka. Ku rasa jiwa ini telah menerimamu untuk menjadi satu dengan jiwaku. Diujung diamku ini aku menunggu, meski aku tahu kau telah memberiku bualan cinta. Kesungguhanmu tak lagi ku coba tuk padamkan, aku sungguh-sungguh menunggumu untuk pengubahan harapan tuk jadi kenyataan.

Aku hanya bisa berharap kau mampu untuk mengartikan diamku ini. Aku tak berdaya untuk sekedar mengucapkannya, karena ku takut engkau kan pergi saat terdengar kata-kata terucap dari mulutku ini. Sungguh hati ini belum mampu mengiyakan dirimu pergi jikalau pun tahu kesungguhanmu patut untuk dipertanyakan.

Dilema mulai berkecambuk dalam hatiku, berlomba lomba untuk mempertanyakan semuanya. Seberapa besar yang ku dapatkan, sudah cukupkah itu semua ku artikan cinta yang sesungguhnya atau hanya sesaat. Namun, tubuhku masih belum tergerak dan masih tertahan di sini seakan ingin bertahan dalam ombak yang tak kunjung surut dan pergi ketepian.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline