Lihat ke Halaman Asli

Suci Rahmadhani

Seseorang yang suka akan banyak hal

Dampak Parenting Stress terhadap Kesehatan Mental Anak di Era Pandemi Covid-19 Ditinjau dari Perspektif Teori Stress Keluarga

Diperbarui: 1 Oktober 2022   22:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Today's Parent 

Pandemi Covid-19 telah membawa berbagai tantangan pada hampir setiap aspek kehidupan manusia. Stres ekonomi, masalah kesehatan fisik dan mental, tantangan dalam pembelajaran jarak jauh, dan kesulitan dalam menyeimbangkan pekerjaan dan kehidupan pribadi dapat berkontribusi pada menurunnya kesejahteraan keluarga dan memicu adanya peningkatan parenting stress oleh orang tua. Parenting stress merupakan sebuah keadaan berupa tekanan yang berkaitan dengan kesulitan menjalankan peran sebagai orang tua (Lestari, 2021). 

Mengingat sebagian besar anak menghabiskan waktunya di rumah dan kondisi stres orang tua yang meningkat selama pandemi Covid-19, risiko penganiayaan anak diprediksi akan meningkat (Abramson, 2020). Brooks and Associates (2020) baru-baru ini menemukan bahwa orang tua memiliki lebih banyak konflik dengan anak-anak mereka dan lebih sering meneriaki anak-anaknya dalam 2 minggu pertama pandemi daripada sebelum pandemi. Cuartas (2020) juga melaporkan adanya peningkatan penganiayaan anak selama periode isolasi diri, karantina, dan lockdown. Kondisi ini bila dibiarkan dapat berdampak buruk bagi kesehatan mental anak.

Adanya stres pengasuhan dan dampaknya terhadap kesehatan mental anak dapat dilihat melalui perspektif teori stres keluarga (family stress theory). Teori ini dikembangkan oleh Reuben Hill pada tahun 1949 ketika ia mempelajari dampak perpisahan dan reuni pada keluarga setelah Perang Dunia II. Hill menggambarkan interaksi dari serangkaian variabel untuk menjelaskan peristiwa yang mengarah pada krisis keluarga. Hill (1949) mengidentifikasi pola penyesuaian rollercoaster dalam keluarga yang bersatu kembali. Hal tersebut melibatkan disorganisasi awal, diikuti oleh pemulihan, dan reorganisasi.

Menurut Hill (1958: 143), terdapat model pembentukan krisis keluarga. Dalam model ini, terdapat faktor A (mengacu pada stresor, yaitu peristiwa atau kejadian hidup yang menyebabkan perubahan keseimbangan keluarga) faktor B (sumber daya atau kekuatan yang digunakan untuk membantu seseorang mengatasi stres, faktor C (persepsi anggota keluarga tentang peristiwa kausal atau bagaimana mereka mendefinisikan peristiwa tersebut), dan faktor X (hasil dari stres atau krisis yang mengikuti penerapan strategi koping).

Sebuah stresor adalah elemen pertama dari model ABC-X. Hill (1949) mengkonseptualisasikan stresor sebagai peristiwa atau keadaan yang memberi tekanan untuk perubahan pada sistem keluarga. Dalam kaitannya dengan pandemi Covid-19, peristiwa yang dapat memicu stres umumnya adalah kondisi keuangan, pekerjaan, pengangguran, kemiskinan, penyakit, perceraian, dan tuntutan pengasuhan. Stres ini mengarah ke titik krisis, dan ketika seseorang tidak dapat menangani stres ini dengan baik dengan keterampilan koping internal atau sumber daya eksternal, stres kemudian meluas menjadi tantangan bagi keluarga. Untuk menghindari stres ini, orang tua harus memiliki keterampilan dan sumber daya koping internal yang memadai sehingga emosi dapat dikelola dengan baik. 

Elemen kedua dari teori stres keluarga adalah sumber daya orang tua. Setelah stres dialami, sumber daya yang tersedia untuk keluarga akan menentukan seberapa banyak strategi yang digunakan untuk mengatasi stres atau masalah. Sumber daya ini termasuk individu, keluarga, atau jaringan sosial yang lebih besar. Sumber daya juga dapat berupa keuangan; program berbasis masyarakat, seperti program rekreasi, taman dan kegiatan waktu luang; atau program pengelolaan stres lainnya, seperti terapi dan kelompok pendukung pengasuhan anak. Untuk membantu mengurangi jumlah stresor potensial, dukungan sosial eksternal membantu 

Adapun elemen ketiga, orang tua dapat membangun persepsi atau pendapat mereka sendiri apakah peristiwa stres itu positif atau negatif. Persepsi individu tentang peristiwa tertentu dipengaruhi oleh tahap perkembangan, pengalaman awal, pandangan hidup, dan disposisi pribadi. Ketika peristiwa stres terjadi, seseorang cenderung menilai peristiwa tersebut secara subjektif sehingga beberapa orang mungkin memandang stresor dalam kerangka positif, menganggap peristiwa itu sebagai tantangan atau bahkan sebagai peluang untuk mendorong mereka ke tingkat pencapaian yang baru. Sedangkan orang lain mungkin akan melihat keadaan yang sama dalam kerangka negatif dan menganggap peristiwa itu sebagai krisis. Dalam hal ini, respons psikologis seseorang terhadap stresor didasarkan pada kognisi dan strategi koping mereka (Folkman, 1999). 

Terakhir, krisis diyakini mencakup respons stres yang ekstrem ketika sumber daya individu tidak cukup untuk membantu mengatasi stresor dan mereka tidak memahami stresor dengan tepat. Ketika orang tua berpikir bahwa mereka sedang mengalami krisis, perspektif ini akan mempengaruhi semua aspek kehidupan normalnya. Pada tingkat emosional, orang tua yang merasa tertekan dan terbebani akan mengalami tingkat stres yang tinggi, serta lebih mungkin untuk melampiaskan emosi negatif mereka melalui perilaku yang tidak pantas, seperti kekerasan fisik atau verbal. Tindakan ini tentu akan memperburuk kondisi kesehatan dan kesejahteraan mental anak yang sudah terdampak akibat pandemi. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline