Lihat ke Halaman Asli

Filsafat Semangkok Docang

Diperbarui: 25 Juni 2015   09:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Docang, salah satu makanan khas cirebon ini selalu membuat lidahku ingin bergoyang jika mendengar namanya yang unik itu. Docang merupakan makanan berkuah yang ada sejak jaman Walisongo. Konon katanya, docang merupakan makanan yang sangat digemari oleh para Wali. Docang sendiri makanan yang terdiri dari lontong, sayur daun singkong, toge dan parutan kelapa yang disiram dengan kuah  sayur Dage/Tempe Gembos (yang dihancurkan + terasi) serta dikolaborasikan dengan kerupuk. Lebih mantap lagi jika ditambah cabe bubuk yang memberikan sensasi rasa pedas yang membuat sensasi luarbiasa ketika disantap.

Ketika saya amati lebih dalam lagi, dalam proses pembuatan docang saya menemukan makna untuk hidup.  Ketika saya mengamati ibu penjual docang yang sedang membuat docang, ternyata untuk meracik semangkok docang diawali dengan mengupas lontong dan mengiris-irisnya. Artinya, jika dilihat lontong itu panjang dan terbungkus itu mengartikan jalan kedepan itu sangat panjang dan masih terbungkus oleh misteri.  Dan lontong itu kemudian di kupas serta di iris-iris menjadi bagian-bagian yang kecil. Artinya, karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan dan yang bisa kita lakukan hanya mengupas misteri itu di sepanjang kita hidup yang kita lalui serta memotong setiap misteri yang terungkap secara parsial agar kita mudah untuk memahami hidup ini.

Kemudian, ketika mangkok sudah berisi potongan-potongan lontong, Ibu penjual docang itu menaburinya dengan sayur singkong, toge dan parutan kelapa. Artinya, ketika hidup kita sudah berisi harta maka taburilah harta kita ke sesama yang tidak mampu atau beramal kepada orang yang patut diberi pertolongan. Setelah mangkok terisi oleh potongan lontong, sayur daun singkong, toge dan parutan kelapa kemudian ibu penjual docang itu menyiramnya dengan kuah  sayur Dage/Tempe Gembos (yang dihancurkan + terasi). Artinya, Ketika hidup kita sudah diberi rezeki harta dan bisa beramal kepada sesama maka siramilah rohani anda dengan beribadah kepada Sang Pencipta. Setelah itu, ibu penjual docang memberi sentuhan terakhirnya dengan mengkolaborasikan semangkok docang tersebut dengan beberapa kerupuk. Artinya, kita hidup tidak bisa sendirian karena manusia adalah mahluk sosial. Maka dari itu, jalinlah silahturahmi kepada sesama agar hidup kita di dunia menjadi harmonis.

Setelah semangkok docang itu selesai dibuat, ibu penjual docang langsung memberikan kepadaku dan tentu saja ketika semangkok docang itu sudah ada di tanganku tanpa menunggu lama, saya langsung menyantap docang tersebut. Hmmmm...rasa dan kuah hangatnya membuat gairah hidupku jadi lebih bersemangat. Ha ha ha ha ha..... inilah jadinya jika berfilsafat dalam keadaan perut lapar.. :D :D

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline