Lihat ke Halaman Asli

Suci Nur Rahayu

MAHASISWA IAIN JEMBER

Cerdas dalam Beremosi

Diperbarui: 3 Maret 2020   00:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

~Tahan dulu sebelum merusak segalanya

Kata Emosi tentu sudah tidak asing lagi di telinga. Kata yang sering diidentikkan dengan bentuk kemarahan. Benarkah emosi sama dengan kemarahan? Jika dalam kamus besar bahasa indonesia emosi memiliki arti 1. luapan perasaan yang berkembang; 2. keadaan dan reaksi psikologi dan fisiologis (seperti kegembiraan, kesedihan, keharuan, kecintaan); keberanian yang bersifat subjektif); 3. cak marah. Dari pengertian diatas dapat diketahui bahwa emosi bukan hanya berbentuk kemarahan, tetapi juga kegembiraan, kesedihan, keharuan, kecintaan dan lain sebagainya.

Namun, fakta yang ada dan sudah berkembang adalah ketika melihat orang yang mudah tersulut kemarahannya ia akan mengatakan "eh orang yang marah itu emosian ya". Atau dengan kata-kata lain yang bermaksud sama. Orang-orang yang menganggap kemarahan sama dengan emosi adalah sama saja memaknai kata "emosi" sebagai kata sifat, dan menganggap sebagai sifat yang buruk. Padahal, bentuk-bentuk luapan perasaan (emosi) tersebut masuk ke dalam kata kerja bukan termasuk ke dalam jenis kata sifat. Kemarahan hanyalah salah satu bentuk reaksi psikologi yang muncul beberapa saat saja, bukan sifat yang melekat pada diri seseorang berlangsung dalam jangka waktu yang panjang.

Emosi muncul karena adanya pengaruh luar ataupun dalam dirinya. Pengaruh luar muncul dari lingkungan dan pengaruh dalam berasal dari perasaan. Emosi yang dipengaruhi lingkungan luar adalah bentuk reaksi psikologi yang muncul sesuai dengan lingkungan disekelilingnya. Reaksi psikologinya dapat berupa kebahagiaan jika orang-orang atau keadaan di sekelilingnya adalah sesuatu yang disukai atu dapat juga berupa kekecewaan jika orang-orang atau keadaan disekelilingnya bertentangan dengan atau tidak sesuai dengan dirinya, dan lain sebagainya. Emosi yang dipengaruhi dalam diri adalah reaksi psikologi yang muncul karena adanya gejola dalam jiwa yang melibatkan perasaan. Tetapi tidak sepenuhnya karena perasaan, bisa juga karena membayangkan kejadian-kejadian yang pernah terjadi. misalnya, ketika hayalan pemikiran tersebut berisi suatu kejadian indah atau menyenangkan maka akan muncul perasaan bahagia.

Walaupun emosi disebabkan oleh beberapa faktor hendaknya mampu mengendalikan emosinya agar tidak berlebihan dalam bereaksi. Misalnya, tidak berlebihan dalam kesedihan, kesenangan, kemarahan, kekecewaan atau yang lain. Kemampuan untuk mengendalikan emosi disebut dengan kecerdasan emosi. Dalam buku Tumbuh Kembang Kecerdasan Emosi Nabi karangan Hamim Thohari, Ika Rais (Tim NASMA), menguraikan pengertian kecerdasan emosi, dan menguraikan kedalam dua pengertian. Pengertian pertama adalah kemampuan seseorang untuk mengendalikan emosi dirinya. Pengertian kedua tentang kecerdasan emosi adalah merupakan tahapan berikutnya, yaitu kemampuan merasakan perasaan orang lain dan mengambilnya sebagai inspirasi untuk menentukan keputusan.

Setelah seseorang mampu mengendalikan emosinya, akan lebih mudah untuk memahami perasaan orang lain. Sehingga dalam menyelesaikan masalah tidak akan hanya melihat persepsi, pandangan dan pendapat diri sendiri, tetapi dengan memperhatikan dan menggunakan cara pandang orang lain. Jika kita mampu bersikap demikian, tidak akan ada lagi yang namanya egois, seenaknya sendiri, tidak peduli terhadap orang lain, dan tidak akan ada yang namanya perpecahan. Yang ada hanyalah perasaan kasih sayang antar sesama, sehingga muncul fenomena-fenomena yang menyejukkan mata seperti, saling menerima pendapat, saling memberi, saling menghargai.

 Rasulullah adalah guru bagi umatnya yang mengajar melaui sifat-sifatnya, sabda-sabdanya dan ketetapan-ketetapannya. Beliau adalah teladan yang paling sempurna untuk menggambarkan kecerdasan emosi. Ada sebuah kisah yang menggambarkan betapa sempurnanya kecerdasan Nabi SAW. Rasulullah memiliki tetangga seorang wanita Yahudi yang selalu mencaci beliau. Wanita ini senantiasa menyempatkan untuk melongokkan kepalanya dari jendela jika Rasulullah lewat depan rumahnya. Dengan lantang wanita ini mengucapkan umpatan-umpatan, caci makian, dan ejekan-ejekan, menghinakan Rasulullah. Namun dengan sabarnya Rasulullah mendengar saja cacian tersebut tanpa memberinya komentar.

Hingga suatu hari Rasulullah terheran ketika tidak ada lagi suara yang biasanya menghina dirinya. Bahkan sampai tiga hari suara tersebut tidak didengar, beliau berinisiatif untuk menjenguk wanita tersebut. Tahulah Rasulullah bahwa wanita tersebut sedang sakit. Maka dalam kesempatan berkunjung tersebut Rasulullah tak lupa mendoakan wanita tersebut. Wanita Yahudi itu hanya terdiam melihat sikap indah dari musuhnya ini, sehingga akhirnya datang hidayah yang menuntun wanita ini masuk menjadi pengikut Islam.

Dari cerita Rasulullah diatas kita dapat mengambil pelajaran yang besar yang dapat diterapkan oleh seluruh umat. Sebagai manusia hendaknya tidak langsung membalas keburukan orang lain, tetapi dengan memahami pikiran lawan yang kita hadapi, lalu menentukan sikap, apakah dengan melawan dan membalas, atau membiarkan saja, atau dengan mendekati dengan ramah. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline