Lihat ke Halaman Asli

Saatnya Pemerataan Aliran Listrik di Seluruh Pelosok Negri

Diperbarui: 21 April 2016   21:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="ilustrasi saat kecil masih mengunakan lampu teplok saat belajar (foto:csrindonesia.com)"][/caption]Saya menghabiskan masa kecil di sebuah desa yang masuk kecamatan Cawas Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.  Saat saya lahir akhir tahun 1974, listrik belum masuk ke desa saya, pun saat saya sudah tumbuh menjadi anak-anak.  Gelap gulita menjadi teman kami di desa.  Penerangan di rumah hanya mengunakan lampu teplok, lampu petromak dan ting ( lampu  bersumbu kecil yang dibuat dari kaleng  kaca bekas) yang dipasang di depan rumah.  Petromak hanya di nyalakan dari sore sampai kami selesai belajar karena untuk menghemat minyak tanah.  Terkadang saat belajar kami mengunakan lampu teplok  . Setelah waktunya tidur, hanya ada satu lampu teplok yang dinyalakan dan satu lampu ting di depan rumah. Sekali lagi untuk berhemat.

Apa yang kami alami, juga dialami oleh tetangga semua. Jadi, tidak heran jika menjelang petang dan sampai pagi menyapa , desa kami diselimuti kegelapan karena hanya setitik cahaya yang terpendar dari lampu ting tersebut. Hingga tak heran jika saat bulan berbentuk sempurna, kami anak-anak menyambut dengan sukacita karena bisa bermain sepuasnya di halaman rumah untuk bermain jamuran dan petak umpet.

Masih terekam kuat dalam ingatan saya, sepulang sekolah saya mendapatkan tugas untuk membersihkan kap lampu petromak dan seprong lampu teplok.  Maklum kalau setiap pagi hari kaca petromak dan lampu teplok di rumah kami hitam legam penuh jelaga. Jika tidak dibersihkan, malam harinya lampu tidak akan mampu menerangi rumah kami. 

Karena ketiadaan listrik, untuk menikmati hiburan di rumah, kami mengandalkan televisi berlayar hitam putih berukuran 14 inci dengan  energy accu (aki). Sementara radio yang kami punya juga mengandalkan energy dari batu baterai.  Saat saya duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), saat itu sedang booming ketoprak yang disiarkan oleh TVRI Yogyakarta. Kebetulan ketopraknya ada sayembara berhadiah, sehingga saat tayangan tersebut selalu di nanti oleh kami dan warga desa lainnya. Karena hanya beberapa orang yang mempunyai televise, tidak heran jika rumah kami menjadi jujukan ( tempat berkumpul warga untuk menikmati ketroprak  bersambung tersebut. Hingga, jika mendekati hari tayang (kalau tidak salah setiap Kamis malam), kami selalu memastikan accu-nya sudah di stroom (diisi energi).

Sementara untuk menyetrika baju, kami mengunakan setlika dari baja (kami biasa menyebut setlika jago) dengan arang yang membuat wajah kami menghitam saat membuat arang membara sebelum menyetlika baju.

Masa-masa itu, saat sesekali saya ke kota Solo diajak tetangga yang baik hati jalan-jalan, saya selalu menatap kagum  bangunan dan lampu-lampu yang terang benderang di sepanjang jalan . Apalagi saat masuk ke supermarket (saat itu supermarket  yang terkenal di Solo adalah Mickey Mouse terletak di Purwosari Plaza). Dan dalam hati saya selalu berharap agar listrik masuk ke desa kami .

Listrik Masuk Desa

Saat saya kelas 4 SD, Alhamdulillah listrik masuk ke desa kami. Awalnya  hanya  tiang listrik yang didirikan dipinggir jalan.  Meskipun begitu, saya merasa sudah cukup senang karena  ada harapan listrik akan menerangi desa kami. Butuh waktu berbulan-bulan sampai ada petugas yang memasang kabel dan pada akhirnya menyalurkan listrik ke rumah-rumah  di desa.

Pada waktu itu masih ada pembatasan pengunaan listrik sehingga kami hanya berani memasang lampu neon yang berwarna kuning yang membuat kulit kami kelihatana lebih kuning saat malam hari. Juga hanya ada stop kontak yang terbatas di rumah kami yang besar. Tetapi saya maklum karena rasa gembira lebih besar. Dan yang jelas, saya tidak lagi bertugas membersihkan kaca petromak dan lampu teplok lagi.

Dan sampai sekarang, saat  saya kuliah dan menikah kemudian tinggal di Solo, saya sangat bersyukur karena ketersediaan listrik cukup memadai. Kami tidak mempunyai masalah listrik byar pet atau mati lampu (oglangan) seperti yang terjadi di tempat tinggal saudara kita di luar Jawa. Meskipun listrik tergolong lancar, tetapi saya selalu menekankan kepada keluarga saya agar terus berhemat  dalam mengunakan listrik karena pasokan terbatas. Saya menerapkan penghematan dengan salah satunya, saat memasak nasi dengan rice cooker, airnya sudah saya rebus terlebih dahulu di kompor, sehingga waktu memasak mengunakan listrik lebih cepat.

Warga di Desa Hueknutu Kupang  Belum Tersentuh Listrik

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline