Lihat ke Halaman Asli

Pendakian Terakhir

Diperbarui: 14 November 2015   22:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Kamu jadi berangkat besok?” tanyamu sambil memandangku penuh kekhawatiran. Matamu yang bulat indah dan biasanya bersinar terang, kali ini terlihat redup menyiratkan ketidakikhalsan melepasku pergi.
Aku tersenyum, mengambil tanganmu dan mencium perlahan. Ada getaran kurasakan saat tangan halusmu kusentuh.
“Al …please jangan pergi. Kali ini saja. ”
“Ta, bukan kali ini saja aku pergi. Kenapa kamu setakut ini? Bukankah selama ini semua baik-baik saja?”
“Tapi, Al?” katamu dengan nada merajuk. Kali ini tanpa ada kemanjaaan, tetapi bertumpuk kekhawatiran. “Firasatku tidak enak,” sambungnya lagi, lirih.
“Sayang, pendakian ini sudah kami rencanakan. Kamu juga tahu kalau aku harus berangkat. Anak-anak baru itu butuh pembimbing dan ini sudah tanggungjawab kami,” tegasku menyakinkan Tata yang terus membujukku untuk membatalkan pendakian.
Mata bulat itu meredup, penuh rasa putus asa. Tata tahu tidak mungkin bisa mencegah kepergianku kali ini. Hati-hati, aku menunggumu kembali, akhirnya hanya kalimat itu yang mampu terucap dari bibirnya saat aku berpamitan pulang.

**
Bukan kali ini saja aku pergi, sudah puluhan kali kakiku lincah menapaki jalanan terjal gunung. Semua kulakukan dengan rasa percaya diri dan kemantapan hati. Hobi yang kulakukan semenjak aku kuliah semester satu ini memang menjadi tantangan tersendiri buatku. Meskipun awalnya ibu melarang karena kebiasaanku itu membuatnya khawatir tetapi lambat laun ijinnya keluar juga. Saat Tata menjadi kekasihku ia juga awalnya keberatan dan merasa yakin mampu mengubah hobiku.

Tetapi aku selalu melaksanakan semua rencana pendakian dan akhirnya Tata juga merelakan kepergianku. Toh selama lebih dari tiga tahun ini, lebih dari sepuluh pendakianku semua berjalan lancar dan aku pulang dengan selamat. Kali ini aku juga melakukan persiapan sampai matang seperti biasanya, sehingga aku yakin semua akan berjalan dengan lancar. Seperti biasanya.

**

“Semua sudah siap? Kali ini pendakian akan kita mulai. Jalur merapi butuh pendakian ekstra hati-hati. Semua harus waspada.“ teriak Galang sambil memandang rombongan pendakian kali ini. Galang sebagai pimpinan rombongan dan aku membantu tugasnya mengawasi anak-anak semester awal yang kali ini ikut bersama kami.
“SIAP!” jawaban serentak itu membuat semangat kami bangkit.

Tak lama, kami melangkah perlahan, mendaki jalan yang semakin lama semakin terjal dan berbahaya. Sesekali aku membantu rombongan yang kesulitan untuk melangkah.
Pendakian semakin tinggi, jalanan semakin curam. Banyak jurang di kanan kiri jalan setapak yang kami lalui. Rasa was-was dan waspada bercampur ,menjadi satu. Tetapi kami cukup terhibur saat memandang pemandangan yang sangat elok. Sejauh mata memandang hanya hamparan hijau segar dengan rindang pohon yang terlihat. Semua menawarkan kesejukan dan kedamaian hati. Kicau burung yang terdengar bersahut-sahutan mengalahkan musik yang kudengar dari MP3 ku. Kalau sudah seperti ini, aku pasti melepas MP3 dan lebih memilih menikmati suara alam yang tidak terkalahkan.

“Cukup, kita istirahat dulu,” suara Galang membuat langkahku berhenti.
Semua orang duduk, melemaskan otot kaki dan melepas penat.
Setelah minum beberapa teguk air, aku melihat pemandangan yang tak pernah membosankan panca indraku. Meskipun sudah berkali-kali mendaki tetapi mataku selalu dahaga akan keindahan alam yang menawarkan berjuta-juta kesegaran.

Hidungku mengembang saat menghirup udara segar yang dengan cepat memenuhi paru-paruku. Hanya di tempat seperti inilah, paru-paru dan seluruh organ tubuhku mendapatkan kemanjaan setelah setiap hari terpaksa berkutat dengan udara yang bercampur dengan asap knalpot, kepulan asap pabrik, kepulan rokok dan polusi udara lainnya.

Kakiku dengan lincah mendaki ke lereng bukit, semakin memanjakan matanya yang terus membujuk untuk mencari keindahan lainnya.
Tanpa sengaja aku melihat bunga edelweis yang sedang mekar. Indahnya kelompak bunga yang menjadi simbol kegagahan para pendaki itu membuatku tertarik untuk mendekat. Entah mengapa nalarku terkalahkan dengan perasaanku yang campur aduk. Selama ini belum pernah sekalipun saat pulang mendaki aku membawakan edelweis untuk Tata.

Berulangkali ia memintaku untuk mengambil bunga itu, tetapi aku selalu memberikan pengertian kalau itu larangan bagi kami. Biarkan bunga indah itu terus hidup dan berkembang dengan keindahnya. Kita tidak berhak merusaknya, demikian aku selalu memberikan alasan.
Selain takut merusak keindahan bunga edelweis, dikalangan para pendaki sudah ada kesepakatan tidak tertulis untuk tidak mengambilnya. Kami cukup menikmati keindahannya di gunung dan mengabadikan dengan jepretan kamera, bukan membawanya pulang.

Tetapi kali ini tanganku gatal ingin memberikan persembahan indah ini untuk Tataku. Kakiku melangkah dengan ringan mendekati bunga yang gagah berdiri di tepi sebuah tebing. Sejenak aku berpikir akan kesulitan untuk memetiknya, tetapi setelah aku perhatian, tidaklah terlalu sulit. Aku hanya perlu berdiri ditepi tebing dan tanganku pasti mudah menjangkaunya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline