Malam telah larut, jalanan tampak sepi dan gelap. Kebetulan bulan juga tak tampak, sehingga kegelapan semakin menyelimuti Desa Waringin.
Berkali-kali mulut Tejo komat-kamit melafalkan do’a. Sesekali kepalanya melihat ke kanan, kiri, belakang dan depan untuk memastikan tak ada seseorang dan sesuatupun yang mengikutinya. Tejo menyesal dalam hati kenapa sampai lupa waktu berada di rumah Rahmat, teman sekelasnya. Soal matematika yang dikerjakan bersama Rahmat menguras perhatiannya sehingga tak sampai menyadari kalau hari sudah menjelang malam. Tejo juga menyesal menolak ajakan Rahmat untuk tidur dirumahnya saja, dan besok pagi setelah subuh baru pulang ke rumah. Ketika jam menunjukan pukul 10 malam,terpaksa ia pulang dengan mengatakan kalau tidak merasa takut. Padahal Tejo sebenarnya takut sekali. Sulit mencari anak seusinya berani berjalan sendiri saat malam hari. Siapa yang berani menantang ‘bahaya’ melewati pohon beringin itu? Hiiiii… ngeri.
Saat kaki Tejo mulai menyusuri jalan di pojok desa yang bersebelahan dengan persawahan, sepi semakin terasa menyengat. Bulu kuduk Tejo tanpa disadari sudah berdiripertanda ia mulai dilanda ketakutan. Sambil merapatkan tas yang didekap di dada, Tejo mempercepat langkah kakinya agar segera melewati persawahan dan segera bertemu dengan rumah penduduk.Kakinya cukup gemetar ketika akan melintasi pohon beringin yang berdiri sangat lebat. Slamet..slamet..slamn ..slumun..slamet.., bibir Tejo berkali-kali bergetar.
Di sekeliling pohon beringin nampak air telaga yang terlihat bening kalau siang hari.Tejo tak berani melihat, dan terus berusaha melewati pohon yang menakutkan tersebut. Sebenarnya letak pohon itu cukup jauh, ada di dekat telaga. Tetapi tetap saja bulu kuduknya merinding. Saat melintas, tanpa dapat dicegah, hidung Tejo mencium bau yang menyegat dan menambah bulu kuduknyaberdiri. Bau yang tak asing lagi, bau kemenyan. Hiiiii, Tejo tiba-tiba ingat kalau ini malam Jum’at, malam yang biasanya dipergunakan beberapa warga di desanya untuk meletakkan sesaji dibawah pohonberingin tua. Angin yang berembus cukup keras menerpa daun-daun pohon beringin seakan menimbulkan suara-suara yang menyeramkan.
Tejo...............Tejo......................, terdengar suara lirih memanggil nama Tejo. Tanpa di beri aba-aba, Tejo langsung berlari kencang menuju rumahnya. Mulutnya tak henti merapal do’a, tangannya gemetaran sambil berlari sekencang-kencangnya. Meskipun Tejo rajin sholat dan mengaji, tetapi tetap saja rasa takut lebih kuat di hatinya. Tak dihiraukannya sapaan beberapa tetangga yang sedang duduk di pos ronda. Tejo baru berhenti ketika kakinya melangkah sampai di depan pintu rumah. Badannya terjatuh limbung di teras rumah dan ia baru menyadari kalau celananya basah dan berbau air kencing. Tejo tersenyum kecut, sambil menghela nafas lega telah sampai di rumah dengan selamat.
**
Beberapa anak laki-laki nampak asyik bermain air sambil memandikan kerbau di sungai. Mereka bersenda gurau, memukul-mukul air sehingga menimbulkan cipratan air yang membasahi badan. Terdengar tawa riang dan cekikan tanda keriangan hati dari anak-anak itu. Tejo tampak asyikmengosok badan kerbau dengan jerami yang di celupkan ke air sungai.
“Waduh, kena lumpur lagi...” teriak Tejo sambil mengusap pipinya yang terasa panas dengan terkena lemparan lumpur tebal.Sesaat matanya mencari si pelempar lumpur. Tejo sudah menduga Karjo atau Rahmat yang berbuat iseng melemparkan lumpur, karena tak dilihatnya kedua teman karibnya tersebut. Ekor mata Tejo melihat ada kecipak lembut air sungai di belakangnya sekitar 3 meter dibelakang kerbau Rahmat. Dengan sigap, Tejo melompat dan menerkam kecipak air yang dilihatnya tadi.
“Waduh..waduh... nyerah..nyerah,” terdengar teriakan Rahmat saat tubuhnya di rangkul oleh tangan Tejo. Kedua tangan Rahmat di pegang keras ke belakang, membuat Rahmat tak bisa berkutik.
“Hahhahahahhahaha,” Tejo tertawa cekikikan merasa puas karena berhasil menangkap Rahmat.Tiba-tiba Karjokeluar dari dalam air dan berlari menjauhi Tejo. Dengan cekatan Tejo melepaskan tangan Rahmat dan berbalik mengejar Karjo yang nampak tertawa mengejek. Sejurus kemudian ketiga teman karib itu berlarian saling kejar mengejar. Sementara kerbau merekatak lagi dihiraukan.
“Stop, berhenti!“ teriak Karjo menyadarkan teman-temannya. Tejo dan Rahmat sontak berhenti, dan seketika wajah Rahmat pucat pasi. Ternyata tanpa mereka sadari, merekaberlarian hampirmemasuki telaga di bawah pohon beringin.Tempatkeramat yang tidak boleh diinjak oleh sembarang orang. Hanya orang-orangtertentu di desa yang boleh masuk ke ‘daerah larangan’ di sekitar pohon beringin. Dengan wajah pias dan pucat ketakutan Tejo dan kedua temannya segera beranjak meninggalkan telaga dan pohon beringin yang berdiri menjulang dengan gagahnya. Sebenarnya kalau saja tak ada larangan untuk mendekati pohon beringin, pasti banyak orang yang akan senang berteduh menikmati sapuan angin dari gesekan daundaun pohon beringin yang lebat dan rindang. Apalagi pada saat terik matahari menyegat kulit, tak ada tempat seteduh di bawah pohon tua itu..
Tejo duduk di tepi sungai, sambil mengamati Rahmat dan Karjo meneruskan mengosok badan kerbau. Sambil termangu, matanya menyapu pohon beringin tua yang dikelilingi telaga. Pohon beringin tua itu konon sudah berumurpuluhan tahun, terlihat dari besarnya pohon dengan urat-urat yang bergelantungan dan daun-daun hijau rindangnya. Keteduhan pohon beringin itu membuat banyak burung yang hinggap dan senang tinggal di antara kerindangan dedaunan. Telaga dengan air biru jernih di bawah pohon beringin membuat pohon semakin kelihatan nyaman. Hanya saja ada larangan masyarakat desa untukmendekati pohon beringin dan telaga. Konon siapa saja yang mendekati pohon dan telaga akan terkena tuah yang biasanyamenjadi sakit. Hal itu sudah terbukti terjadi, sehingga tak ada penduduk yang berani mendekati.
Keseraman pohon beringin tua itu semakin nyata ketika sering dijumpai kemenyan dan bunga aneka warna pada saat malam tertentu. Orang semakin nyakin kalau pohon dan telaga memang tempat angker, dan menyeramkan. Sayang sekali sejak puluhan tahun silam tak ada yang berani mendekat apalagi memanfaatkan untuk berteduh. Meski warga Desa Waringin rajin sholat di mushola dan mengaji, tetapi entah mengapa kepercayaan bahwa pohon beringin dan telaga itu ada penunggunya dan tidak boleh diganggu begitu kuat, bahkan ketika nenek moyang yang awalnya melarang warga mendekati telaga dan pohon beringin sudah tiada, keturunannya masih saja percaya.
Kenapa orang-orang desa masih percaya dengan keangkeran pohon beringin itu ya?keluh Tejo dalam hati. Bukankah seharusnya air telaga bisa dimanfaatkan untuk keperluan warga?
Aduhhhhhhhhhhh......Tejo terkesiap mendengar teriak kesakitan dari Rahmat. Setengah berlari Tejo membantu Karjo mengangkat tubuh Rahmat yang terlihat kaku. Matanya tak berkedip menatap nanar pada satu titik yaitu pohon beringin. Mulutnya tak berhenti mnegaduh kesakitan. Tejo bergidik ngeri melihat Rahmat yang di gotong beramai-rami oleh penduduk desa yang sedang menanam padi di sawah dan datang ketika mendengar teriakan Rahmat.
Dengan cepat khabar Rahmat yang sakit mendadak tersebar ke semua penjuru desa, semua orang membicarakan baik secara terang-terangan maupun dengan bisik-bisik.Semua orang rasanya menyalahkan Tejo dan Karjo yang bermain dekat telaga dan pohon beringin. Setelah orangtua Rahmat dan para tetua desa mengantarkan sesaji ke bawah pohon beringin, Rahmat berangsur sehat kembali. Tetapi sejak saat itu tak ada lagi orang yang berani mendekat ke telaga dan pohon beringin.
**
Beberapa bulan kemudian, musim kemarau panjangdatang. Tanah, pohon, dedauan kering kerontang.Sawah-sawah tak ada air setetespun. Debu mengepul di jalanan dan terlihat banyak menempel di genteng dan jendela rumah. Bahkan di beberapa desa, warga mulai mencari sumber air ke daerah lain karena sumur mengering. Anehnya, sawah-sawah Desa Waringintak mengalami kekeringan. Sawah-sawah masih teraliri air, padi berdiri tegak sarat bulir-bulir kuning, gemuk dan tumbuh dengan suburnya. Ternak masih kelihatan segar dan mandi berendam di sungai sekitar telaga pohon beringin. Hamparan sawah yang berdekatan dengantelagateraliri air sehingga tetap segar dan tidak mengering.
Warga mulai mengeluh karena musim hujan belum juga datang. Anehnya, warga tak berani mengambil air telaga, padahal mereka membutuhkan air bersih. Karena sebagian besar sumur warga Desa Waringin mulai menyusut bahkan ada yang mulai mengering, warga mulai beranjak mencarisumber air ke desa lain, tak ada yang menyentuh air telaga yang berlimpah.
Tejo sudah tidak tahan lagi dengan kekeringan dan panasnya matahari di siang hari. Air sumur sudah tidak ada lagi.Air yang dibeli ditampung di ember besar dan bak penampungan air sudah tinggal sedikit lagi. Bapak sudah tidak ada uang untuk membeli air. Tejo benar-benar tak mengerti dengan pikiran warga desa yang tak berani mendekati telaga. Kenapa ada air melimpah tetapi waraga memilih membeli air dari tempat lain? Dengan tekad bulat, Tejo memberanikan diri untuk mengambil air di telaga. Mulanya, ia mengajak teman-temannya, tetapi tak ada yang mau. Bahkan melihat Tejo dengan wajah heran dan ketakutan. Kejadian yang dialami Rahmat belum pupus benar dari ingatan mereka, dan tak ada seorangpun yang berani mengambil resiko untukmendekati telaga.
Dengan mengucap bismilah, Tejo mengiring kerbaunya mendekai telaga. Mulanya kerbau seperti biasa masuk ke sungai yang bersebelahan dengantelaga. Kebetulansiang itu tak adakerbau di sungai kecuali milik Tejo. Justru kesunyian tersebut membuatnya semakin berani untuk mendekati telaga. Tejo hanya ingin membuktikan bahwa telaga itu tidak menyeramakan, tidak berbahaya dan tidak ada penunggunya. Ia ingin memanfaatkan air yang melimpah di telaga.
Setelah memastikan kerbaunya aman berendam di sungai, Tejo segera mendekati telaga. Sesaat ia nampak ragu, tetapi kemudian hatinya sudah bulat bertekad untuk masuk dan mandi di telaga. Dengan mengucap bismilah, Tejo pelan-pelan memasukkan kakinya ke telaga. Air bening, dingin dan melimpah di telaga ditambah dengan hembusan daun pohon beringin yang melambai, seakan mendorongnya untuk masuk ke dalam. Perlahan tubuh Tejo masuk ke dalamnya telaga. Iamerasa heran bercampur takjub dengan kesegaran air telaga, dan keasyikan bermain air. Mungkin karena sudah beberapa bulan sulit menikmati air segar yang melimpah, Tejo seakan tak puas-puas mandi di telaga. Sekitar 1 jam kemudian, Tejo keluar dari telagakarena mendengar lenguhan kerbaunya.
Semenjak itu, setiap hari diam-diam Tejo mandi dan berendam di telaga, bahkan ia juga membawa air telaga ke rumahdengan mengunakan jerigen. Dan sekarang Tejo berani terang-terangan untuk mandi, dan mengambil air di telaga. Meski bapak dan ibunya marah dan ketakutan tetapi Tejo tetap menyakinkan orangtuanya bahwa telaga aman, terbukti Tejo sehat dan tak mengalami hal-hal aneh seperti yang dikhawatirkan ayahnya.
**
Tiga bulan berikutnya, saat kemarau masih sangat panjang dan belum ada tanda-tanda hujan akan datang, warga desa sudah tak sabar lagi dengan kekeringan yang dihadapi, perlahan beberapaorang mulai mengikuti jejak Tejo. Pada mulanya anak-anak sebaya Tejo yang dengan takut-takut memberanikan diri mandi di telaga, lama kelamaan orang tua mulai satu persatu dengan ketakutan dan malu-malu mengikuti jejak anak-anaknya mengambil air di telaga pohon beringin.Dalam kondisi darurat membutuhkan air, warga mulaiberani mendekati pohon beringin dan telaga. Air yang melimpah, segar, bening dan dingin membuat warga mengandalkan air telaga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.Warga semakin berani karena tidak ada kejadian apapun ketika mereka mengambil air telaga. Pada akhirnya para sesepuh desadan kepala desa tak ada lagi bisa mencegah keinginan warga. Bahkan warga desa tetangga mulai ikut-ikutan.
Tejo senang sekaligus heran melihat semangat warga dalam memanfaatkan air telaga. Ia sendiri sudah lebih dari 5 bulan mandi dan mengambil air telaga untuk kebutuhan di rumah, tetapi tetap sehat walafiat. Sebagian besar warga desa juga melakukan hal yang sama dan tidak ada kejadian aneh. Lalu mengapa sejak bertahun-tahun yang lalu ada kepercayaan kalau pohon beringin dan air telaga berbahaya? Kenapa warga nyakin kalau penunggu telaga bisa marah dan membuat warga menderita?
**
Petang itu setelah mengaji di mushola, Tejo berbincang-bincang dengan Pak Mantri Joko yang bekerja di Dinas Pertanian. Tejo ingin menuntaskan rasa penasaran tentang telaga dan pohon beringin tua itu. Pak Joko selain insinyur pertanian yang paham dengan seluk beluk pohon, juga termasuk sesepuh desa. Sepengetahuan Tejo, Pak Mantri Joko tidak pernah melarang warga mendekati telaga dengan menebarkan ketakutan seperti sesepuh desa yang lainnya. Pak Mantri hanya berpesan supaya telaga dan pohon beringin tetap seperti semula.
“Memang sejak puluhan tahun silam ada semacam laranganbagi warga untuk mendekati telaga dan pohon beringin. Sebenarnya hal itu tidak terkait dengan kepercayaan ada penunggunya,” jelas Pak Mantri Joko. Tejo menatap dengan penuh tanda tanya, ia belum paham dengan penjelasan tetangganya itu. “DuluDesa Waringin subur makmur air melimpah, panenan selalu bagus. Kabarnyatelaga itu juga dipergunakan oleh warga, untuk kebutuhan sehari-hari dirumah, mandi, mengairi sawah. Lama kelamaan warga juga mengambil ikan yang hidup di telaga. Hanya saja, karena kurang puas, ada sebagian warga yang tidak pakai aturan dalam mengambil ikan. Tidak hanya dengan memancing tetapi membunuh ikan dengan racun yang menyebabkan ikan-ikan kecil ikut terbunuh. Populasi ikan menjadi menurun dan lama kelamaan habis. Pohon beringin yang rindang juga terancam rusak,karena ada yang menebang untuk bahan kayu bakar. Lama kelamaan pohon layu, kering,dan mati. Sejak saat itu tak ada lagi pohon beringin dan saat musim kemarau air telaga kering, air sungai disekitar telaga juga kering. Sawah warga tak ada air setetespun, sehingga tak bisa panen dan warga desa kelaparan. Padahal belum pernah desa kita mengalami kelaparn dan kekurangan air. Kebetulan ada seorang warga yang menyadarkan bahwa kemungkinan besar sumber air yang selama ini mencukupi kebutuhan warga desa berasal dari sumber air di bawah telaga. Dan sumber air itu terus keluar dengan baik karena ada pohon beringin yang bisa menyimpan air. Karena pohon beringin mati, cadangan air tak lagi bisa tersimpan dengan baik. Sejak saat itu, warga desa menanam pohon beringin di telaga untuk mengantikan pohon beringin yang mati. Perlu beberapa tahun menunggu pohon itu tumbuh besar dan rindang. Tetapi memang setelah pohon besar, subur, air telaga juga melimpah dan air di sumur penduduk juga tak pernah kekeringan. Sejak saat itulah sesepuh desamelarangwarga untuk mendekati telaga dan pohon beringin. Maksud sebenarnya agar pohon tetap hidup subur dan air telaga tetap melimpah. Kalau warga mendekati telaga lagi pasti akan merusak air dan pohon beringin.“
Tejo mengangguk paham mendengar penuturan pak mantri yang panjang lebar. Sebenarnya sesepuh desa bermaksud baik untuk melindungisumber air yang sangat dibutuhkan warga.Bertahun-tahun kemudian kabar yang berhembus dibumbi cerita mistis dan menakutkan rupanaya agar membuat warga tidak merusak pohon beringin dan telaga. Tejo tersenyum puas setelah mengerti cerita yang sebenarnya. Tetapi kalau dibiarkan seperti itu terus warga bisa mengulang kejadian dahulu dengan merusak sumber air. Warga perlu diberitahu bagaimana meraawat sumber air yang baik. Apalagi beberapa hari kemudian Tejo mendengar cerita dari Rahmat kalau saat kejadian ditelaga sebenarnya karena dia terserang kram perut. Demikian kata dokterpuskesmas yang mengobati Tejo waktu itu. Tejo semakin nyakin kalau pohon beringin dan telaga tidak ada penunggunya. Tetapi telaga harus diselamatkan agar tetap menyediakan air jika sewaktu-waktu dibutuhkan warga, gumam Tejo sambil tersenyum.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H