Lihat ke Halaman Asli

Persimpangan Hati #5

Diperbarui: 17 Juni 2015   09:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Nang, yang penting saat ini kamu harus pulang. Ibumu benar-benar sakit dan butuh kehadiranmu itu. Om ngerti apa yang kamu pikirkan, tapi ayolah kamu buang dulu harga dirimu dan keangkuhan itu. Pulanglah Nang, coba cairkan kebekuan hati bapakmu,” om Afandi menepuk-nepuk bahuku mencoba encairkan kebekuan hatiku.

Aku tidak bisa berkata apa-apa. Batinku terjadi pergolakan sengit antara harga diriku dan kerinduan pada ibuku, pada bapakku, kampong halamanku.

Sampai aku pamit pulang pada Om Afandi, aku belum bisa memberikan jawaban pasti yang membuatnya lega.

***

Malam ini hatiku sangat gelisah. Tak bisa ku pejamkan mata sebentarpun.

Saran kawan-kawan dan penjelasan panjang lebar tentang bapak dari om Afandi mengusik hatiku, membuat kerinduan yang sekian lama ku simpan seakan mau meledak.

Tubuhku yang terbaring di karpet bergerak kesana-kemari tak henti karena tak kuasa menahan gejolak hatiku yang tak menentu. Sekilas ku lirik jam weker di meja. Ach, sudah jam 3.30’, keluh hatiku.

Akhirnya aku bangkit dari tidurku dengan hati-hati takut membangunkan kawan-kawanku yang pulas tidur. Dan seperti tidak ku sadari, aku segera ke sumur mengambil air wudhu. Aku sadar sudah sekian lama aku tak bersujud di hadapan Tuhanku.

Air dingin yang membasuh mukaku laksana air hujan yang membasahi bumi setelah sekian lama panas menguasai bumi. Kesejukan perlahan-lahan menyentuh hatiku. Tuhan, ampunilah aku.

Akhirnya keputusan hati yang aku tunggu-tunggu datang juga.

Aku harus melupakan harga diriku. Aku harus berhasil mengalahkan keangkuhan hati bapak dan menyadarkan kesalah pandangan bapak tentang sikapku.

Aku sudah siap menghadapi semua resiko apapun yang akan terjadi. Perjuangan ini memang berat, butuh banyak pengorbanan.

Ibu, anak tersayangmu akan kembali ke pelukanmu dan bersujud di depanmu tetapi dengan membawa berjuta kemantapan hati akan komitmen perjuanganku.

Bapak, ibu … ma’afkan anakmu.

Nang pulang pak, bu ………

Segera ku siapkan ranselku. Aku tersenyum membayangkan pertemuan dengan bapak dan ibu.

*****




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline