Lihat ke Halaman Asli

Mogok

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku harus mendesaknya terus. Tak ada jalan lain kecuali pemogokan untuk meluluskan tuntutan kami. Dan rencana ini harus terlaksana, toh aku nyakin bila kami mogok, bostidak mungkin berani mengambil resiko untuk tidak meluluskan permintaan kami. Karena mogok berarti produksi yang beromset milyaran rupiah perhari akan hilang.Perusahaan tidak akan berani membirakan kerugian ada di depan mata. Tahun lalu, kami terbukti mampu mendapatkan hal kami ketika kami semua kompak mogok kerja untuk menuntut hak kami.

Tetapi saat inibetapa sulitnya membujuk kawanku, si Sumi untuk mendukung aksi mogok kerja.

Entah sudah keberapa kalinyakawan-kawan di pabrik tempatku bekerja datang ke kost untuk membujuk Sumi. Mereka tidak kenal lelah untuk memuluhkan hati Sumi. Memang kuakui, tanpa Sumi aksi mogok kerjaakan sulit dilakukan. Aku sepakat dengan mereka. Tetapi selalu saja Sumi menolak dengan tegas. Dia mengatakan tidak lagi berminat terlibat dalam pemogokan yang kami rencanakan, apalagi untuk memimpin aksi seperti biasanya.

“Sum, khan hanya kamu yang bisa menggerakkan buruh di sini. Ayolah, ini demi kita semua,” bujuk Wiji, buruh paling senior yang selama ini mampu mengayomi kawan-kawan.

“Memangnya kenapa kali ini harus pakai mogok?” tanya Sumi acuh tak acuh.

“Ah, kamu kayak nggak ngerti wae, Sum. Kami sudah berkali-kali berunding dengan perusahaan tetapi tidak ada hasilnya. Tuntutan kita tidak ada yang diperhatikan. Jadi, nggak ada cara lain selain mogok kerja,” kata Wiji mantap dengan intonasi berapi-api.

“ Cara damai sajalah.” Sahut Sumi.

“Sum, ini jalan terakhir, nggak bisa lagi kita berdamai,” sahut Wiji keras. Dia kelihatan heran dengan jalan pikiran Sumi.

“Memangnya kamu nyakin harus pakai mogok? “ Sumi tak bisa menutupi kekesalan hatinya. Terang-terangan dia menolak untuk ikut aksi mogok kerja.

“Ini jalan satu-satunya,” tegas Wiji lagi.

Sumi diam membisu. Wajahnya tampak keruh.

Aku mengeluh dalam hati melihat Sumi bersikeras. Aku tahu, Sumi kunci dalam pemogokan nanti. Selama ini Sumi mempunyai pengaruh besar untuk mengerakkan buruh. Sumi seperti mempunyai keahlian tertentu sehingga kata-katanya gampang di turuti oleh buruh. Saat melakukan orasi, suaranya lanatang, kencang, tegas dan jalan pikirannya logis. Dan kemampuan tersebut tidak di miliki oleh buruh lainnya. Sumi mempunyai pengaruh untuk mengerakkan buruh, tanpa ada kekompakan dan kesepakatan bersama, pemogokan akan lebih mudah dipatahkan, kami akan menderita kekalahan sebelum tuntutan kami terpenuhi.

“Sum, coba apalagi yang kamu pikirkan itu. Toh nasib kita ini sama. Sama-samagaji kecil, sama-sama diperas tenaga kita. Sama-sama menderita. Kita akan bersama-sama merubah itu.” bujuk Wiji lagi, masih mengharapkan keluluhan hati Sumi.

Sumi tersenyum kecil, tetapi sebuah senyuman ejekan, menurutku.

Kau tidak tahu, Ji. Kawan-kawan yang lain juga tidak tahu perubahana sikap Sumi, kecuali aku, batinku geram. Sejak tiga bulan yang lalu,Sumiberubah seratus delapan puluh derajat. Sumi bukan lagi buruh yang penuh semangat untuk berjuang memikirkan nasib kawan-kawannya, Sumi bukan kawanku yang dulu pemberani dan pintar mengobarkan semangat kawan buruh di perusahaan tempat kami bekerja. Sumi bukan perempuan perkasa yang lantang dan mantap berbicara tentang buruh yang tertindas dan terhisap oleh perusahaan. Sumi bukanlah Sumi yang dahulu selalu bersemangat membangkitkan semangatku untuk ikut menyadari hak sebagai buruh yang tidak pernah di berikan perusahaan.

Sumi sekarang sudah berubah.Dia menceritakan sebuah rahasia karena mempercayai aku sebagai sahabat dekatnya juga kawan satu kost. Sejak tiga bulan yang lalu yaitu ketika suatu malam Sumi akan pulang dari pabrik karena masuk shif malam, di tikungan pabrik dekat garasi mobil yang remang-remang dan sepi, tanpa segaja bos bertabrakan dengan Sumi. Ketika Sumi akan jatuh, bos segera memeluknya. Sumi tersipu malukarena bos tidak segera melepaskan pelukannya, dan Sumi juga tidak minta di lepaskan. Bos justru semakin kurang ajar dan tersenyum penuh arti. Lalu bos membisikkan sesuatu ke telingga Sumi, besok sore Sumi diminta datang ke suatu tempat yang alamatnya telah diselipkan ke tangan Sumi,

Dan sejak hari itu, Sumi sering pergi keluar dan jarang di kost, padahal tidak masuk kerja. Kepada bu Sastro, ibu kost, dia pamit mau pulang ke rumahsaudaranya. Tetapi kepadaku dia pamit pergi ke suatu tempat yang telah di pesan bos. Setiap pulang dari pergi, Sumi selalu membawa uang dan barang-barang mahal seperti pakaian, ponsel terbaru, juga makanan yang enak-enak dan mahal. Tidak lupa, Sumi juga membawa oleh-oleh buatku yang mahal menurut ukuran kantongku.Dia selalu membujukku untuk menerima oleh-olehnya, ya tentunyakarena mengharapkan aku tutup mulut. Bu Sastro dan kawan kost juga tidak ketinggalan ikut mendapatkan beragam oleh-oleh. Sumi sudah mengambil hati pemilik kost dan kawan-kawan.

Aku paham, kalau setiap minggu Sumi ikut antri mengambil gaji, itu gaji murninya yang besarnya sama dengan gaji kami. Selain gaji mingguan, secara rutin Sumi menerima uang bulanan yang diberikan bos, yang kata Sumi besarnya sepuluhkali lebih besar dari gaji kami.

“Sum, kamu itu buruh yang paling ayu di pabrik. Kamu ramah, banyak orang yang seneng dan mendengarkan kamu. Ayolah, cepat putuskan. Besuk kita segera membuat pengumuman untuk mogok kerja,” pinta Warni, teman buruh kami yang biasanya ikut mendampingi Sumi ketika memimpin mogok,ikut membujuk.

“Iya, Sum. Kita mengharapkan kamu, seperti dulu. Sia-sia kita merencanakan semua ini,” kata Wiji dengan mimik memelas, tidakputus asa meluluhkan hati Sumi.

“TIDAK !” tolak Sumi tegas dan keras.

“Sum ?” kataku menatap Sumi dengan cemas.

Wiji dan Warnimenatap Sumi dengan pandangan tak mengerti dan dipenuhi pertanyaan. Mereka meninggalkan kost kami dengan langkah gontai dan putus asa setelah Sumi bersikeras tidak mau ikut mogok kerja tanpa ada alasan yang jelas.

Ku lihat Sumi tersenyum, aku tahu nanti sore bos akan menjemput Sumi dipertigaan jalan dekat jembatan timur kampung ini.

Kemarahan yang selama ini dapat kutahan tak terbendung lagi. Sumi ku anggap sudah keterlaluan, kurang ajar dan tidak setia kawan lagi.

BRAKK! Dengan kesal pintu kubanting.

Sumi membelalakkan matanya, memandangku dengan heran dan marah.

“Sum, kamu itu memalukan saja. Kamu berubah sejak mendapatkan limpahan materi. Ingat, Sum, semua yang kamu lakukan itu salah. SALAH BESAR,” kataku sengit.

Sumi tertawakeras, mengejekku.

“ Itu urusanku, bukan urusanmu.”

“Kamu memilih jalan yang salah, Sum,”

“Huh, kamu pikir enak hidup serba kekurangan terus. Hidup di bawah ketiak majikan dan diperas keringatnya. Sampai tuapun kita tidak akan mampu hidup layak kalau hanya mengandalkan gaji di pabrik,” degus Sumi kesal.

“Makanya kita perlu berjuang agar perusahaan memberikan gaji yang layak. Kita semua tidak mau terus terusan hidup kekurangan,” kataku berani.

“Ini jalan yang kupilih. Silahkan memilih jalanmu sendiri!”

“Kalau tidak mau memimpin mogok, huh, biar aku saja yang akan mengantikan kamu.” Tantangku sengit.

Lagi-lagi Sumi tertawa mengejek.

Aku tahu, Sumi tidak akan percaya orang sepertiku bisa memimpin mogok kerja. Apalagi menyakinkan sekian ratus buruh untuk menolak kerja sampai tuntutan kami dipenuhi.

“Kamu itu mestinya tahudiri. Memang kamu merasa mampu sepertiku?”

Aku menjawab ketus,” Aku memang tidak seperti kamu, yang cantik, berani dan pintar. Tetapi aku mempunyai niat tulus, tidak seperti kamu yang terbuai dengan kemewahan. Kamu itutidak sadar kalau sudah dibelibos kita agar tutup mulut, tidak berani melawan dan tetap memperkaya bos,”

“ Tutup mulutmu,” geram Sumi.

Aku tertawa pelan, menantang.

“Kalau sikapmu seperti ini, jangan salahkan kalau aku akan membuka aibmu di depan teman-teman. Biar kamu tahu rasa. Kalau kamu tega dengan kami, aku juga harus tega denganmu.”ujarku berapi-api.

“Jangan…jangan, Um. Tolong jangan buka rahasiaku,” Sumi tampak ketakutan mendengar ancamanku.

Sumi pasti tidak akan berani menampakkan batang hidungnya lagi kalau raahasia kotornya sampai terbongkar. Dia pasti ketakutan menghadapi bos, terlebih menghadapi istri bos.

Aku tidak peduli lagi, nanti sore aku akan menemui Wiji dan kawan-kawan lainnya. Tekadku sudah bulat, tidak bisaditawar lagi.

**

Aku berangkat ke kost Wiji selepas isya, setelah hujan agak reda. Rencana pergi setelah magrib tidak jadi kulakukan. Hujan menunda kepergianku.

Sumi sejak selepas magrib sudah meninggalkan kost, dalam keadaan hujan deras. Tanpa menegurku, tanpa berpamitan denganku seperti biasanya. Sejak pertengkaran tadi siang, Sumi memusuhiku.

Aku menyeberang jalan di jembatan dekat tikungan jalan kampung, ketika mataku terbelalak kaget melihat sorot lampu dari moncong sebuah mobil yang berkecepatan tinggi. Suara raungan mobil menandakan pengemudinya menambah kecepatan. Tanpa bisa menghindar, mobil itu mengilasku dengan cepat. Pandangan mataku seketika gelap dan tubuhku menjadi seringan kapas. Sekilas aku melihat dua orang di dalam mobil jahanam itu tertawa menyeringai kearahku, sebelum aku merasa terbang tinggi di angkasa.

Di bawah, kulihat dua orang yang rahasianya ada ditanganku tertawa puas melihat tubuhku hancur terlindas mobil.

Besok, aku akan melihat kalian dihabisi kawan-kawanku, runtukku marah.*****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline