Lihat ke Halaman Asli

Menulis dengan Hati Ala Penyair Banten

Diperbarui: 20 Februari 2017   19:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menulis tidak boleh; marah, semarah-marahnya dan sedih, sesedih-sedihnya.

Suasana hening, layaknya suara air yang mengalir dengan indah, tatkala penyair kelahiran Kramatwatu, Serang, Banten itu membacakan sebuah puisi “Setelah Bendera itu Dikibarkan” yang akan diterbitkan dalam buku Nada-Nada Minor. Puisi bercerita tentang seseorang yang dianggap bersalah dan berdosa, sehingga segala tindakannya acap kali terlupakan, bahkan ironisnya jarang tersentuh orang lain.

Muhammad Rois Rinaldi, atau biasa disapa Rois itu menarik hati--mengajak menyelami dunia kepenulisan dengan apik dan mengesankan. Rois seakan-akan mampu mengondisikan suasana belajar di Sekolah Literasi Gratis (SLG) Ponorogo, dengan sifatnya yang terkesan santai, akrab, dan riang. Bagaimana tidak, selain pandai dalam kepenyairan, laki-laki yang pernah mendapatkan anugerah Puisi Dunia 2014 itu, juga unggul dalam mengajak interaksi—melawak di hadapan 200 peserta SLG, Minggu (19/2).

Mengawali memberikan materi, ia mengungkapkan, persoalan terberat ketika menulis adalah takut untuk memulai. Kebanyakan memulai menulis seseorang selalu takut tulisannya jelek, padahal jelek-baiknya tulisan tergantung di lihat dari sudut pandang tertentu. “Mau jadi penulis, ya harus menulis dan menulis. Jangan takut tulisan jelek, sehingga berpotensi mengubur semangat diri menulis,” ungkap penulis puisi Terlepas tahun 2015.

Sementara, Sutejo, Ketua Suku Adat SLG, tak bosannya mengibaratkan menulis itu seperti orang buang air kecil. Bagaimana supaya bisa kencing, tentunya minum yang banyak. Begitupula dengan menulis. Pastilah jangan lupa membaca yang banyak.

“Membaca itu jalan terdepan bagi calon penulis. Kalau penulis tidak mau membaca, apa yang akan ditulis dan dituangkan dalam tulisannya?,” jelas laki-laki penulis Kompas itu.

Dalam materinya, penyair berkulit sawo matang itu, memberikan pencerahan kepada peserta SLG, bahwa setiap manulis bisa menulis—menulis apapun yang mereka sukai dan kuasai. Terbukti, ketika pemateri meminta peserta untuk menggambar sesuatu yang  dekat dengannya. Kemudian, menuliskan dalam baris-baris puisi dalam waktu 2 menit. Hasilnya, peserta mampu menggoreskan tintanya dengan baik, meskipun hanya satu sampai dua bait puisi.

Sebagai langkah awal menulis puisi, baginya adalah langkah yang indah. Peserta dengan bebas menuliskan apapun yang dilihat dengan sudut pandang dan pemikiran sendiri. Namun, perlu disadari pikiran manusia adalah lompatan-lompatan ang menarik. Di sini ditekankan untuk mengontrol emosi saat menulis.

“Menulis tidak boleh marah, semarah-marahnya dan sedih, sesedih-sedihnya,” tambah lelaki penggemar Syah Nawawi itu.

Sirojut, salah seorang peserta dari Madiun bertanya, “Bagaimana cara menjaga konsistenasi menulis dan mengolah pikiran yang baik?” Rois pun menjawab, soal konsisen dalam menulis, hanya dibutuhkan satu syarat, yaitu suatu kenikmatan. Menikmati saat-saat proses menulis untuk mensugesti diri, mengubah kemalasan menjadi keseriusan itu penting.

Nova, peserta dari Ngawi pun bertanya, “Bolehkan berimajinasi melebihi apa yang kita lihat? Dengan jelas, Rois menjawab ‘boleh’ Kemudian ia bercerita bahwa ide membuat pesawat bermula saat melihat burung.

Di akhir acara, penyair mengaku senang berbagi ilmu di SLG karena pesertanya luas, tiak hanya Ponorogo saja. Prpgram literasi ini sangat menarik, mungkin di Jawa Timur di sinilah tempat satu-satunya yang memberdayakan literasi untuk melahirkan penulis hebat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline