Gegara kehabisan bacaan aku beralih ke majalah ayah yang waktu itu dipenuhi berita perang Israel-Palestina serta Amerika-Irak. Di salah satu buku agenda ayahku, aku mendapati pula coretan tangan ayah yang bertuliskan, Panitia Perang Dunia III.
Ayah memang selalu menuliskan kalimat atau kata aneh di berbagai tempat. Di cermin dekat jendela, ia menulis, "Squadron 31." Di salah satu foto bersama teman masa muda, ia menuliskan, "Kumpul kebo," ada pula foto yang bertuliskan,"Sedang dinikahkan", "Anak tiri," "Mabuk judi," "Mucikari," dan, " sedang pacaran."
Aku lalu terjun ke majalah ibuku. Di sana ada kisah nenek tua yang memilih hidup sendiri dalam gua bersama seekor ayam dan kucing. Artikel itu ditutup dengan sebuah kolom hijau berisi tanggapan seorang psikolog mengenai mengapa seorang perempuan lebih memilih menjauh dari lingkungan sosial. Saat itu, aku hampir saja berpikir bahwa psikolog adalah orang yang pekerjaannya menanggap-nanggapi kehidupan orang.
Aku mulai merasa terancam akibat perang. Bagaimana kalau suatu hari ada pesawat tempur menjatuhkan pelurunya tepat di atas rumahku? Aku perlu perlindungan seperti yang dilakukan nenek di majalah ibuku.
Otakku kusut. Berpikir keras. Bagaimana seandainya?
Keesokan harinya aku membawa arit dan parang ke belakang rumah. Ide besarku adalah membangun ruang bawah tanah untuk perlindungan seandainya Perang Dunia III terjadi. Anak-anak tetangga turut membantu. Untung mereka tidak menanyakan alasan penggalian lubang.