Lihat ke Halaman Asli

Suci Amalia

Student of Islamic Studies Faculty UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Seratus Hari, Guru T'lah Kembali ke Pangkuan Ilahi

Diperbarui: 16 Februari 2021   00:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dua Bulan Sebelum November

Pembuatan bahs -sebutan makalah berbahasa Arab- sudah menjadi ritual sejak dahulu bagi kelas tiga Madrasah Aliyah Program Keagamaan Al-Hikmah 02. Bahs ini menjadi syarat pengambilan ijazah. Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok yang terdiri dari dua atau tiga orang. Setiap kelompok dibimbing salah seorang pembina -- mungkin ibaratnya dosen pembimbing kalau diperkuliahan.

Kaget bukan main, tertulis di selembaran kertas yang ditempel di tembok kelas nama Suci Amalia dan Ayuni dalam sebuah kolom dengan pembimbing K.H. Mukhlas Hasyim, M.A., kepala madrasah. Pengumuman ini membuatku agak takut. Rasanya, untuk menemui beliau saja tidak sanggup karena malu akan minimnya pengetahuan. Takut juga kalau-kalau lidah ini belibet ketika berbicara dengan beliau.

Namun, saya akui hal ini merupakan rezeki nomplok yang jarang-jarang bisa didapatkan. Bahs bisa dijadikan wasilah untuk lebih dekat lagi dengan beliau. Wasilah agar saya mendapatkan ilmu dari beliau.

Langsung saja. Saya sowan beberapa kali ke Abah sebelum menulis bahs. Sowan pertama, kami menyetorkan dua judul. Kemudian beliau menyarankan untuk mengambil judul ' Min Akhthooil Mushollin'. Judul ini kami ambil karena Abah lumayan sering menyinggung pembahasan ini di pengajian.

Sowan kedua, saya menyerahkan rancangan isi makalah. Setelah beliau setuju dan memberi arahan, saya langsung pergi ke Cirebon sendirian untuk mengerjakan bahs bersama partner saya yang tinggal di sana, Ayuni.

Perjalanan kali ini adalah pengalaman pertama ke Cirebon dengan menggunakan bus, sendirian. Bermodalkan uang Rp. 65.000, kouta whatsapp, dan keberanian, akhirnya saya melihat Ayuni menjemput saya di samping jalan raya. Alhamdulillah, tidak tersesat.

Tiga hari kami menghabiskan waktu bersama di satu kamar sembari menulis bahs. Membuka beberapa referensi, corat-coret sana sini. Untuk masalah kepenulisan, Ayuni memang jagonya, tulisan tangannya sangat rapi. Jadi, kupasrahkan penulisan padanya.

Sowan ketiga, Ayuni yang menemui Abah. Ia ke pondok sembari menunggu berkas-berkas sekolah yang harus disiapkan untuk melanjutkan studinya ke Turki. Hasil sowan ini kami mendapatkan revisian dari Abah. Kata beliau, poin-poinnya harus ditambah, beberapa mufrodat redaksinya harus diubah. Sowan ini terjadi bulan Agustus 2019.

Setelah mendapat revisian, penggarapan bahspun terjeda karena Ayuni sudah pergi ke Turki dan saya pun sudah aktif kuliah di UIN Jakarta. Revisian baru kami rampungkan ketika liburan semester dua, walaupun komunkasi  Indonesia-Turki hanya sebatas chat whatssapp. Bahs ditulis ulang. Kali ini diketik rapi di microsoft word. Siasat kalau-kalau mendapatkan revisi lagi tidak perlu ditulis ulang.

Semuanya siap di awal September. Tanggal 9 september 2020, saya pergi ke pondok untuk menemui Abah. Di Rabu siang, beliau mempunyai jadwal ngasto. Saya kembali ke kamar santri dan berencana menemui beliau di sore hari. Alhamdulllah beliau mengizinkan saya masuk ke ndalem baru beliau dengan ditemani salah seorang adik kelas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline