Indonesia terpecah menjadi dua kubu. Satu kubu mendukung pasangan calon nomor satu, satu kubu lainnya tentu mendukung nomor dua. Antar kubu saling menghujat, saling mengklaim bahwa kubu yang ia pilihlah yang mampu membawa perubahan Indonesia menjadi lebih maju.
Keadaan semakin panas ketika pengumuman hasil rekapitulasi pemilihan suara dikeluarkan secara resmi pada 21 Mei 2019, satu hari lebih awal dari waktu yang direncanakan demi menghindari unjuk rasa masyarakat. Namun apalah daya, unjuk rasa tetap tak terelakan dan terjadi di berbagai tempat, khususnya ibu kota.
Perang antar medsos juga mewarnai pemilu 2019. Penyebaran berita hoax dilakukan oleh beberapa oknum dengan mengandung provokasi. Untuk menanggulangi kejadian yang lebih parah, kementrian Komunikasi dan Informatika melakukan pembatasan media sosial yang mana orang-orang tidak bisa mengunggah gambar dalam jangka waktu beberapa hari.
Setelah berganti tahun dan bulan, masyarakat Indonesia dikagetkan dengan terpilihnya Sandiago Uno menjadi salah satu jajaran kabinet Indonesia Maju Jokowi-Ma'ruf, tepatnya menjadi Menteri Pariwisata dan Ekonomii Kreatif. Ia menyusul Prabowo Subianto yang terlebih dahulu menjadi Menteri Pertahanan.
Dua sosok penentang di pilpres 2019, kini berubah menjadi pembantu presiden dan wakil presiden terpilih. Hal yang sangat disayangkan oleh sebagian masyarakat sampai menjadi tranding twitter, tetapi sebagian masyarakat merasakan angin segar atas kebijakan ini. Mereka berharap perpecahan Indonesia yang dimulai sejak pilpres tahun 2019 akan kembali bersatu.
Merangkul lawan bukanlah hal yang salah. Hal ini bisa menyatukan perpecahan yang selama ini terjadi. Bukan saatnya mempermasalahkan kamu ormas Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Gerakan Reformis Islam (Garis) atau ormas lainnya. Bukan lagi masalah Islam, Kristen, Katolik, atau Budha. Bukan lagi masalah tentang satu atau dua. Namun yang terpenting adalah bagaimana menciptakan kementrian yang tanggap menangani masalah yang melanda Indonesia. Apalagi sekarang Indonesia menghadapi pandemi covid-19 yang bukan rahasia umum lagi mempengaruhi Indonesia di segala sektor .
Akankah kebijakan Presiden Jokowi berhasil menangani permasalahan yang terjadi?
Melakukan rekonsiliasi dengan pihak yang menentang bukanlah hal yang asing. Dalam sejarah Islam sendiri, hal ini pernah dijadikan taktik politik dalam negeri yang diterapkan oleh Al-Ma'mun, khalifah ke-7 Dinasti Abbasiyah.
Al-Ma'mun melakukan rekonsiliasi antara unsur-unsur yang berkonflik dengan Dinasti Abbasiyah. Contohnya dengan melakukan rekonsiliasi dengan kaum Alawiyin. Kaum Alawiyin sendiri adalah kelompok orang yang menisbatkan dirinya kepada Ali bin Abi Thalib. Ketika pemerintahan Islam masih dipimpin Dinasti Umayyah, Alawiyin dan Abbasiyah bekerja sama dalam rangka menggulingkan Umayyah. Setelah Umayyah berhasil digulingkan, pemerintahan Islam beralih dikuasai oleh Abbasiyah secara keseluruhan. Sedangkan Alawiyin tidak mendapatkan jatah kursi di pemerintahan kala itu. Alhasil, hal ini menumbuhkan amarah di kalangan mereka dan mengakibatkan pemberontakan terjadi pada masa pemerintahan Abbasiyah.
Pemberontakan terhenti pada masa Al-Ma'mun. Dengan kecerdasannya, Al-Ma'mun memperlakukan Alawiyin berbeda dengan khalifah-khalifah sebelumnya. Dahulu Alawiyin dipukul, sekarang berubah menjadi dirangkul.
Al-Makmun memperkuat hubungannya dengan kaum Alawiyin dengan memberikan kursi kekuasaan bagi Imam Ali Ridho bin Musa al-Kadzim, pemimpin Alawiyin. Bahkan, ia menikahkan Ali Ridho dengan putri kandungnya, Ummu Habib binti Makmun.