Lihat ke Halaman Asli

Udin Suchaini

#BelajarDariDesa

Kemiskinan Fungsional

Diperbarui: 1 Oktober 2023   12:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sekarang muncul fenomena kemiskinan fungsional, di mana pegawai rendahan memiliki beban pekerjaan bertumpuk sementara pegawai yang memiliki jabatan fungsional tinggi seakan tak memiliki beban dan tinggal menikmati tunjangan. Tugas yang datang, membuat stress pegawai rendahan dan tak ada dampaknya bagi penikmat beban negara. Bisa dimengerti, karena di dua posisi itulah pegawai di instansi ini harus rela tertekan atau di sisi lain mencari kesibukan sendiri karena banyaknya waktu luang. 

Sebuah pembagian tugas atau pekerjaan yang mestinya harus diratakan, karena bagi mereka yang overload pekerjaan merelakan pekerjaannya untuk dibagi pada pegawai yang santai karena tidak punya tuntutan. Tapi dimanapun posisi kita, harus merelakan ini karena kesuksesan bawahan akan dinilai jika level yang lebih tinggi memiliki waktu luang yang lebih banyak untuk mencari kesibukannya sendiri.

Sayangnya di instansi-instansi ini, berbagi tugas yang adil memang bukan soal mudah. Ada begitu banyak pegawai yang diperlukan oleh pengambil kebijakan, sehingga kesejahteraan waktu luang di luar jam kerja, bahkan hari libur pun terenggut oleh beban kerja. Parahnya, jauh lebih banyak penikmat waktu kerja, bingung mengerjakan apa karena yang tidak banyak tuntutan. Nonton youtube, drama korea, netflix, dan kesibukan lainnya yang tak ada hubungannya dengan kegiatan kantornya. 

Parahnya, bagi mereka yang tak punya tuntutan, mampu meninggikan diri dan meremehkan kebijakan pimpinannya dan beban kerja sesamanya. Dampaknya, ada orang memakai waktu luangnya untuk memanjakan diri dan marah pada siapa saja. 

Ada juga yang sewenang-wenang karena merasa memiliki beban kerja yang tak terukur, merasa memiliki privilege jauh di atas  pegawai lainnya dan boleh tidak menaati peraturan. "Aturan manapun yang menghalangiku, berarti tak pernah mempertimbangkan beban kerjaku," katanya.

Akhirnya, faktor pembeda pegawai itu bukan soal jenjang jabatan, melainkan kelakuan. Ada jabatan tinggi yang membuat hina, ada jabatan rendah yang justru memuliakannya. Pemilik jabatan tinggi yang mengkritik kebijakan sambil meremehkan pegawai rendahan di bawahnya akan menghasilkan kutukan. Sementara, pegawai rendahan yang tak banyak protes dan mengerjakan apa yang ditugaskan mendapat gelar teladan. 

Padahal, bagi pegawai yang memiliki jabatan fungsional lebih tinggi yang baik hati meringankan beban pegawai lainnya akan mendatangkan kebaikan ganda, sudah baik hati dipuja pula. Sementara, bagi pegawai rendahan yang banyak mengeluh karena tak ada privilage apa-apa, juga mendatangkan masalah ganda, sudah beban berat dikutuk pula. Akhirnya, mau punya jabatan tinggi maupun rendahan, tak akan mengubah apapun dari manusia, jika punya satu konsekuensi: kebaikan. 

Tapi, di instansi yang saya lihat ini, kebaikan itu jangan-jangan hanya sebatas memenuhi tugas. Saya pernah mengikuti beberapa rapat, berdiskusi dengan beberapa pendapat. Yang saya lihat hanyalah, bagi pegawai yang mengungkapkan pendapat, dia lah yang bakal kena jerat. 

Pekerjaan baru akan tersemat, dan beban bertambah menjadi sekian berat. Tak jelas lagi, siapa bertugas apa. Bagaimana mekanisme pengambilan kebijakan yang sesuai dan bagaimana para pihak akhirnya diam dan tak bergeming saat diminta pendapat saat rapat. Itu saja. Pegawai di level apapun akan diam, ketika diminta pendapat. Kalaupun dipaksa, jawabannya adalah mencari pembenaran dari pemberi pendapat sebelumnya atau mengaminkan saran pimpinannya yang meskipun salah.

Barangkali, diposisi nyaman dengan gaji yang tak mungkin berkurang, sikap pegawai cukup satu, jangan menambah beban bagi diri dengan memberi pendapat. Sehingga mereka punya percaya pada dua hal sekaligus: diam dan nikmati. Padahal, diantara pegawai ada banyak potensi yang bisa mengajukan pendapat dan dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk kebijakan, apalagi dari pegawai rendahan yang langsung berhadapan dengan persoalan. 

Dampaknya pun parah bagi pengambil kebijakan, karena modal memutuskan suatu masalah menjadi perkara: tak punya pertimbangan, mitigasi resiko, keputusan jangka panjang dengan pertimbangan jangka pendek, hingga spekulatif dan tidak dapat diimplementasikan. Dampak dari kediaman pegawai yang dijadikan modal: diam, mengkritik kebijakan, meremehkan yang mengerjakan, ujungnya merasa menjadi korban kebijakan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline