Lihat ke Halaman Asli

Udin Suchaini

#BelajarDariDesa

Saatnya Penyelenggaraan Pelabuhan Berubah

Diperbarui: 6 Juli 2018   13:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

industri.bisnis.com

Upaya pemerintah dalam mewujudkan transportasi aman, selamat dan nyaman, tercederai oleh kecelakaan Kapal Motor (KM) yang menelan banyak korban. KM Arista di perairan Makassar, Sulawesi Selatan (13/6/2018). KM Sinar Bangun di Danau Toba (18/6/2018). KM Ramos Risma Marisi di Danau Toba (22/6/2018). KM Maju Lestari di perairan Selat Selayar, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan (3/7/2018).

Bahkan, salah satu kejadian tersebut menjadi bencana kapal feri paling mematikan di Indonesia, dalam kurun waktu hampir satu dekade. Yang patut dicatat dalam beberapa kecelakaan adalah human error yang menjadi penyebabnya.

Salah Siapa?

Sudah jelas, dalam human error karena faktor manusia. Nahkoda, anak buah kapal (ABK), operator kapal, pemilik kapal, syahbandar, menjadi sasaran empuk yang dimintai pertanggungjawaban. Padahal, mungkin saja kapten kapal tidak mampu mengendalikan manifestasi penumpang, atau bisa jadi sang nahkoda memperoleh "jatah" dari kelebihan penumpang. 

Dispensasi kelebihan muatan bagi kapal angkut penumpang sebesar 30 persen dari total penumpang yang diperbolehkan dalam menghadapi peak season, menjadi cermin ketidakmampuan Kementerian Perhubungan dalam mengatur pelayanan angkutan moda transportasi air, yang akhirnya mengorbankan keamanan penumpang.

Meskipun, kelebihan muatan didasarkan pada kuota dan ruang gerak kapal, namun jika pengawasan masih lemah, penumpanglah yang menjadi taruhan. Pengawasan tidak berjalan dengan sungguh-sungguh, atau mungkin, eksekutif puncak masing-masing armada hanya mementingkan kepentingannya sendiri, akhirnya pelaksana lapangan juga mencari keuntungannya sendiri.

Begitu banyak kepentingan yang tidak difasilitasi oleh sistem. Sebagai organisasi, pelabuhan (Penyelenggara Pelabuhan, Pemerintah Daerah, Kementerian Perhubungan) akan tidak terlalu bertanggung jawab apabila human error hanya dimengerti sebagai kelalaian Nahkoda, ABK, operator kapal, atau pemilik kapal. 

Spesifiknya, kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan lah yang tanggung jawab terhadap keselamatan dan keamanan pelayaran (PP No 51 Tahun 2015). Pada konteks organisasi, praktik ini membatasi tanggung jawab hanya pada operator atau pelaksana lapangan secara langsung. Hal ini dapat dikatakan hanya mencari kambing hitam (scapegoat error) atas permasalahan yang terjadi.

Pembatasan seperti ini melembekkan niat untuk berubah. Perubahan yang serius harus terjadi tidak hanya di lingkungan pelaksana yang berhadapan langsung dengan pengguna. Namun, harus disadari dari pengambil kebijakan.

Memang, pelanggaran manifestasi penumpang dimulai dari pelaksana di lapangan. Namun, untuk mengubah pola perilaku mereka, lapisan terbawah akan melihat pola perilaku organisasinya. Pelabuhan yang sungguh-sungguh menempatkan manifestasi penumpang dengan benar, bukan business as usual. Ini semata-mata karena menyangkut keselamatan.

Maka, dalam kasus kecelakaan kapal, pertanyaannya tidak seharusnya dibatasi pada kelalaian pelaksana, namun juga menyangkut nilai-nilai organisasi yang dilakukan oleh lembaganya. Dari etika administrasi publik, penyebab terpenting dari kelalaian pegawai adalah kelalaian eksekutif (Frederick et al., 1992).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline