Lihat ke Halaman Asli

Udin Suchaini

#BelajarDariDesa

Modernisasi Desa: Adaptasi Budaya Urban

Diperbarui: 1 Desember 2016   11:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak lama lagi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak dilaksanakan, baik setingkat Provinsi, Kabupaten/Kota, sampai Desa. Bahkan, Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) di beberapa wilayah di Jawa Tengah sudah dimulai akhir tahun ini.  Satu hal yang terlihat begitu nyata: silih berganti Kepala Daerah maupun Kepala Desa, kehidupan petaninya tidak banyak berubah, para petani semakin sulit prospek ke depannya, apalagi buruh ‘seadanya’ mayoritas pekerjaan masyarakat di desa. Disisi lain, peningkatannya pun masih sama, semakin banyak pemuda merantau ke kota mengadu nasib. Sudah tidak layakkah kehidupan di desa?

Hidup layak menjadi patokan setiap kehidupan masyarakat. Tetapi seperti apa kelayakan yang diidam-idamkan masyarakat Indonesia? Mengacu pada standar pemenuhan kebutuhan hidup layak Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 21 Tahun 2016, kriteria pemenuhan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) adalah pemenuhan standar kebutuhan seorang pekerja/buruh lajang untuk dapat hidup layak secara dalam satu bulan. Sementara penetapan upah minimum ditetapkan oleh gubernur setiap tahun berdasarkan  KHL.

Provinsi memiliki standar upah minimumnya masing-masing. Statisnya pendapatan/upah tersebut, tidak menjadikan seseorang sadar akan hidup di desa nya, tetapi cenderung mencari nilai kelayakan yang lebih tinggi, sehingga lebih mengarah kekonsumerisme. Kasarnya, orang desa akan lebih memilih bekerja DKI Jakarta supaya memperoleh upah minimal 3.100.000 dari pada bekerja di daerahnya sendiri upah minimumnya lebih rendah. Penilaian ini bukan kepekaan terhadap batas kewajaran pemenuhan kebutuhan hidup, melainkan berusaha melebihi pemenuhan kebutuhan material. 

Modernisasi Kehidupan Desa

Persoalan urbanisasi bukan sekedar perpindahan manusia dari desa ke kota saja, lebih jauh lagi berdampak pada perubahan gaya hidup pelaku urbanisasi itu sendiri. Orang desa semakin bergaya ke-kota-an, saat pulang dari rantau. Lambat laun, dijumpai manusia-manusia modern dikehidupan perdesaan. Dalam tatanan sosial, kehidupan desa-kota menjadi semakin tidak dikotomis lagi. Meskipun sekarang, kita masih beranggapan desa-desa yang tersebar di Indonesia memiliki penduduk yang lugu dan cenderung termarginalkan yang dibalut, kearifan lokal dan keindahan lingkungan alamnya. 

Perubahan pola hidup masyarakat desa, memiliki tatanan kehidupan masyarakat yang sederhana dibandingkan dengan kemewahan kehidupan kota. Kenyataannya, tatanan masyarakat desa mulai mengalami pergeseran. Desa mulai merasakan perubahan-perubahan selayaknya kehidupan perkotaan. Pemenuhan kebutuhan hidup layak di desa bergejolak juga mengikuti gaya hidup perkotaan. Kebutuhan-kebutuhan barang-barang konsumtif meningkat, yang akhirnya dilirik oleh pemain-pemain pasar modern seperti minimarket.

Menurut data BPS, minimarket sudah merambah ke 11.468 desa. Bahkan, kalau ada yang bercerita seorang desa yang kaya membeli kulkas digunakan sebagai almari pakaian, mungkin hanya akan dianggap mengarang cerita. Tetapi pola gengsi dampak dari modernisasi hasil urbanisasi yang tidak diimbangi oleh pengetahuan yang cukup, ternyata bukan hal yang mustahil.

Masyarakat desa yang mengadopsi modernisasi, diawali dari perubahan gaya hidup individu. Dampak adopsi dikehidupan komunal masyarakat mungkin lebih lambat. Seperti, sekarang kebiasaan gotong royong di desa-desa masih kita jumpai di desa. Pada kegiatannya mungkin tidak berubah, gotong royong, tetapi esensinya bisa bergeser. Kehidupan modern yang cenderung individualis, menjadikan masyarakat desa permisif apabila untuk tidak mengikuti kegiatan gotong royong. Lantas, bagaimana selayaknya kehidupan desa yang kita rindukan?

Khittah Desa

Desa menjadi tujuan akhir kehidupan kita selama merantau, termasuk buat saya sendiri. Desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, jika merujuk pada Undang-Undang Desa nomor 6 Tahun 2014, Desa sebagai kesatuan masyarakat hukum dibangun atas norma-norma kehidupan komunal, atas inisiatif bersama yang membentuk budaya dan perilaku bersama.

Kepentingan masyarakat dibangun atas kesepakatan bersama yang berisi nilai atau norma informal yang dimiliki bersama antar anggota masyarakat yang memungkinkan terjalinnya kerjasama. Desa yang hak asal usul dan hak tradisionalnya tetap terjaga. Budaya gotong royong, adat istiadat, serta kearifan lokal yang selalu dilindungi kesakralannya. Terakhir, keindahan alamnya terlindungi dari pembalakan, pembakaran lahan, pencemaran lingkungan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline