Lihat ke Halaman Asli

Udin Suchaini

#BelajarDariDesa

Mengukur Tingkat Kebahagiaan

Diperbarui: 4 April 2017   18:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14029885921327141876

[caption id="attachment_343235" align="aligncenter" width="564" caption="Indeks Kebahagiaan Indonesia 2013"][/caption]

Awal bulan ini Badan Pusat Statistik (BPS) dalam berita resminya menyatakan Indeks Kebahagiaan Indonesia tahun 2013 Sebesar 65,11 pada Skala 0-100. Artinya jika dibuat nilai tengah sebesar 50, maka Indonesia dalam kategori “cenderung” bahagia. Jika saya mengartikan, rakyat Indonesia masih belum bisa dikategorikan bahagia, karena masih mendekati angka 50. Bagaimana dengan Anda, seberapa besar tingkat kebahagiaan Anda?

Setiap orang memaknai kebahagiaan hidup dengan cara yang berbeda. Ada yang memaknainya dengan membandingkan banyak kejadian menyenangkan dan kejadian menyedihkan. Ada yang menilai sudah terpenuhi atau belum kebutuhan dan keinginan. Ada juga yang memaknai dari tujuan hidup atau cita-cita yang sudah tercapai. Jika makna kebahagiaan dinilaimenurut persepsi masing-masing orang, akan muncul paradoks orang miskin lebih bahagia dari orang kaya, karena banyak hal yang mempengaruhi kebahagiaan, tidak sekedar dari sisi materi.

Kebahagiaan merupakan refleksi dari berbagai kepuasan hidup terhadap kondisi kehidupan pribadi, sosial, serta dampak yang dihasilkan dari lingkungannya. Secara pribadi, seseorang akan cenderung puas ketika mudah memperoleh akses kebutuhan dasar. Sehat, mudah menjalani pekerjaan, memperoleh penghasilan yang layak, yang akhirnya mudah memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Kebahagiaan juga dipengaruhi oleh kehidupan keluarga dan sosialnya, seperti keluarga yang harmonis, hubungan dengan tetangga, sahabat, serta orang lain yang terjalin dengan baik, tidak memiliki musuh, serta selalu menghargai orang lain. Termasuk lingkungan yang aman dan nyaman juga mempunyai andil dalam membuat hidup menjadi lebih meningkatkankepuasan dalam menjalani hidup. Rasa aman dari tindak kejahatan, perilaku sosial yang buruk, seperti terjadinya aksi kriminalitas, perkelahian massal, dan sejenisnya, serta dampak dari polusi dan bencana alam .

Mengukur Tingkat Kebahagiaan

Kebahagiaan sangat sulit diukur, suatu hal yang abstrak, dan sulit untuk dibandingkan satu dengan yang lain. Jika ada seorang ditanya “Seberapa besar tingkat kebahagiaan Anda?”, yang terjadi adalah munculnya pertanyaan lain “Maksudnya apa?”. Pertanyaan yang sama diajukan dalam kurun waktu berbeda, akan mungkin terjadi jawaban yang berbeda, sesuai kondisi seseorang waktu pertanyaan tersebut ditanyakan.

Pertanyaan secara langsung terhadap rasa bahagia, tidak dapat digunakan untuk mengukur kebahagiaan. Banyak permasalahan muncul, tidak faham dengan makna pertanyaan, responden asal menjawab, atau bisa jadi responden menjawab sesuai kondisi kehidupan sesaat. Akhirnya, jawaban dari masing-masing responden tidak dapat dibandingkan.

Permasalahan usia dan status perkawinan juga memiliki dampak tersendiri terhadap penilaian tingkat kebahagiaan. Ada sebuah ungkapan, hanya orang yang sudah menjalani pahit manisnya hidup yang mampu menilai tingkat kebahagiaan secara umum. Disisi lain, tingkat kebahagiaan menjadi cerminan kehidupan pribadi, tidak serta merta menjadi refleksi kebahagiaan rumah tangga. Besarnya tingkat kebahagiaan suami belum tentu mencerminkan kebahagiaan istri. Besarnya kebahagiaan seseorang yang belum menikah, juga tidak bisa merepresentasikan kebahagiaan orang yang sudah menikah. Kebahagiaan hidup merupakan kebahagiaan seorang individu, bukan rumah tangga. Dengan kondisi ini, metodologi penarikan sampel menjadi penting sehingga dalam mengukur tingkat kebahagiaan dapat merepresentasikan kehidupan penduduk secara keseluruhan.

Sulitnya mengukur tingkat kebahagiaan, bukan berarti kebahagiaan seseorang tidak bisa diukur. Diperlukan formulasi khusus dalam mengukur tingkat kebahagiaan. Pendekatan yang digunakan dengan mengukur tingkat kepuasan hidup dalam berbagai ranah kehidupan yang penting dalam menjalani hidup. Seperti, kepuasan masyarakat terhadap kesehatan, pendidikan, pekerjaan, penghasilan dan pendapatan, keharmonisan keluarga, aset dan perumahan, kehidupan sosial, waktu luang, lingkungan, serta keamanan. Menilai kepuasan ini-pun tidak bisa diukur secara langsung. Seseorang harus melakukan evaluasi terhadap hidup yang sudah dijalaninya terlebih dahulu sebelum menilai kepuasannya. Sehingga sebelum ditanyakan kepuasan, seseorang harus dipandu dengan menanyakan berbagai pertanyaan berbagai hal objektif tentang apa yang sudah dialami, baru kemudian ditanyakan hal subjektif mengenai kepuasan terhadap capaian hidupnya.

Pendekatan objektif dan subjektif ini merupakan penggabungan dari dua model yang sudah dilakukan di internasional sampai saat ini. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan capaian hidup atau objective wellbeing, serta rasa pada diri seseorang atau subjective wellbeing. Kedua pengukuran ini digunakan untuk menilai kesejahteraan masyarakat dalam suatu wilayah.

Pentingnya Indeks Kebahagiaan

Indeks Kebahagiaan atau di Internasional disebut Happiness Index dianggap penting oleh negara maju, salah satunya adalah negara-negara yang tergabung dalam OECD. Negara lain yang juga menjadi pelopor Indeks Kebahagiaan adalah Bhutan yang sudah menyusun GNH (Gross National of Happiness).

Mengapa Indeks Kebahagiaan? Paradoks pembangunan yang muncul dari dampak kehidupan sosial ekonomi,ternyata belum mampu dijelaskan oleh indikator yang disusun secara objektif. Meningkatnya produk domestik bruto, menurunnya angka kemiskinan, dan terus meningkatnya nilai IPM, membuat raport pemerintah dari sisi makro selalu positif. Di sisi lain, meningkatnya jarak antara si kaya dan di miskin mencapai 0,4 dalam indeks Gini, meningkatnya tingkat kejahatan, terus menerusnya terjadi perkelahiaan massal, kasus asusila, kekerasan terhadap perempuan maupun KDRT yang makin sering kita lihat di berita, menjadi bagian yang perlu diredam.

Pembangunan nasional menempatkan manusia sebagai objeknya. Sesuai amanat pembukaan UUD 1945 “memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”, juga termaktub dalam pasal 33 ayat 3 menyebutkan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Akhirnya rakyatlah yang seharusnya menilai, apakah pembangunan yang dilakukan pemerintah selama ini sudah menyentuh kehidupan masyarakat atau belum. Sehingga ukuran keberhasilan pembangunan menjadi sebuah ukuran subjektif yang dirasakan oleh rakyat, hasil refleksi dari pembangunan yang dilakukan pemerintah. Disinilah pentingnya pengukuran indikator kepuasan hidup sebagai pendekatan terhadap indeks kebahagiaan penduduk Indonesia dalam melihat capaian pembangunan.

Pentingnya indeks kebahagiaan bukan berarti bahwa indikator ekonomi harus begitu saja digantikan oleh indikator kebahagiaan, tetapi semata-mata untuk melengkapi indikator ekonomi yang telah ada, sebagai ukuran perkembangan dan keberhasilan pembangunan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline