Pelik diurai, muskil dipecahkan
Tatkala kehidupan kian karut marut
Laksana kerakap di atas batu
Hidup segan mati tak mau
Mungkinkah berharap hasil tanpa perjuangan, tanpa pengorbanan?
Atau, mungkinkah meraih untung besar tanpa modal?
Bukankah setiap hasil adalah selaras dengan apa yang diusahakan?
Kalaulah memang dunia adalah panggung sandiwara
Mengapa harus larut, terbenam dalam lakon serba pura-pura?
Untuk apa menebar pesona bila hanya demi merebut tahta?
Angin surga yang dihembuskan beruntai kata semanis madu
Mendayu-dayu dalam nyanyian syahdu menusuk kalbu
Sesungguhnya itu palsu!
Karena nerakalah yang menjelma pada ujungnya
Sebagai realita yang bermuara pada malapetaka dan bencana
Manakah yang lebih mulia antara yang bersahaja apa adanya
Dengan gelimang kemewahan selimut kekusutan?
Betapa rancunya antara yang hitam dan yang putih
Yang telah bergumul tak terkira, mewujud menjadi kelabu
Terajut menjadi benang kusut, terangkai bagai lingkaran setan
Tiada ujung tiada pangkal
Dalam hening kami bersenandung, mengharap restu Sang Ilahi
Di antara para pemburu harta, tahta dan kuasa
Dengan seribu topeng dan seribu wajah
Menghiasi dunia yang kian merona senja ...
*****
Kota Malang, November di hari pertama, Dua Ribu Dua Puluh Empat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H