Lihat ke Halaman Asli

Logika Memilih, antara Hak dan Kewajiban

Diperbarui: 10 Februari 2024   18:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Dari ketiga pasang Capres dan Cawapres, mana yang akan anda dukung?

Saya pun simpel saja menjawabnya, "Tidak ada yang saya dukung dari ketiga-tiganya."

Apa dasar logika berpikir anda sebagai warga negara RI, sehingga bersikap untuk tidak menjadi pendukung dari ketiga pasangan yang dikontestasikan dalam Pemilu 2024 melalui mekanisme undang-undang yang berlaku di republik ini?

OK, jikalau republik ini adalah negara hukum sebagaimana yang tersebut di dalam UUD 1945 hasil amandemen, di Bab I: Bentuk dan Kedaulatan, pada Pasal 1 ayat 3, yakni "Negara Indonesia adalah negara hukum", maka UUD 1945  itu adalah konstitusi dan sumber hukum tertinggi yang berlaku di Republik Indonesia. UUD 1945 menjadi perwujudan dari dasar negara (ideologi) Indonesia, yaitu Pancasila, yang disebutkan secara gamblang dalam Pembukaan UUD 1945. Apakah Pemilu itu sudah sejalan dan pararel dengan Pancasila yang diwujudkan dalam UUD 1945 sebagai hukum tertinggi? Khususnya terhadap sila ke-4 dari Pancasila, yakni "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebjaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan" yang acapkali dijadikan rujukan dan diterjemahkan menjadi pelaksanaan Pemilu. Sudah tepatkah penerjemahannya itu?

Baiklah. Intinya, anda lebih menyoal tentang Pemilu yang tidak sejalan dan separarel dengan Pancasila beserta UUD 1945. Begitu, ya?

Ya. Pertama, Pancasila sebagai Dasar Negara RI tidak mengenal Pemilu. Sila ke-4 dari Pancasila harus saya terjemahkan secara esensial adalah "Hikmat Kebijaksanaan, Musyawarah-Mufakat, dan Perwakilan". Bukan dengan cara kontestasi dalam Pemilu atau general election. Kedua, koq bisa-bisanya komitmen bangsa ini, setelah merdeka dan berdaulat, yang kemudian terkodifikasikan ke dalam rumusan Pancasila beserta UUD 1945, dalam perjalanannya menerapkan Pemilu guna menetapkan pemimpin maupun wakil-wakilnya yang merupakan representasi dari hati nurani rakyat dalam tatanan bangsa yang berlandaskan Pancasila beserta UUD 1945? Nalar logikanya dari mana dalam menerjemahkan dan mempraktikkan Pancasila beserta UUD 1945 dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih mengedepankan Musyawarah-Mufakat daripada kontestasi yang rentan dan cenderung mengusik Persatuan Indonesia Nusantara dalam ke-Bhinneka-annya di setiap pelaksanannya?

Simpulannya, anda lebih memilih sebagai golput daripada sebagai partisipan dalam Pemilu di negeri ini, ya? Dan, bukankah Pemilu telah berjalan sejak 1955, dan di 2024 ini adalah Pemilu yang akan dilaksanakan pada 14 Februari merupakan yang ke-13. Bisa dijelaskan secara filosofis tentang golput sebagai pilihan dan sikap anda?"

Klausul yang bisa dijadikan dalil pembenaran logika golput dalam Pemilu di Indonesia yaitu UU No. 39/1999 tentang HAM, pasal 43, UU No.12/2005 tentang Pengesahan Kovenan Hak Sipil, yaitu pada Pasal 25 dan dalam UU No. 10/2008 tentang Pemilu disebutkan pada Pasal 19 ayat 1 yang berbunyi: "WNI yang pada hari pemungutan telah berusia 17 tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih."

Dalam klausul tersebut kata yang tercantum adalah "hak", bukan "kewajiban". UUD 1945 yang diamandemen pada 1999-2002 kata yang tercantum pada pasal 28 E, yakni "Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali". Hak memilih di sini termaktub dalam kata "bebas". Artinya, bebas digunakan atau tidak.

Oleh karenanya, pilihan dan sikap golput dalam Pemilu, apakah merupakan tindak pidana dalam hukum positif yang berjiwa Pancasila beserta UUD 1945 di negeri ini sebagai satu komitmen bangsa Indonesia?

Salam Seimbang Universal Indonesia Nusantara ....

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline