Pemilu sudah sampai puncaknya, ketika tulisan ini ditulis, esok sudah mulai untuk pemungutan suara. Kampanye juga telah usai, jual gagasan, jual gimmick, tinggal menunggu finalnya. Menandai pemilu tahun ini, bisa disimpulkan, selain dari kebaikan atau tetek-bengeknya tujuan pemilu atau politik itu sendiri, kemenangan juga jadi tujuan utama.
Oke gas-Oke gas.., branding yang teringat dari salah satu pasangan calon (paslon), mengingat branding dari paslon lain yang susah untuk diingat-ingat kembali, branding dari paslon oke gas, ternyata sangat ampuh, buktinya saya sendiri mudah teringat. Pemilu lagi-lagi tentang kemenangan, berlomba-lomba menarik masyarakat, menarik simpatisan, salah satunya dengan branding.
Tulisan ini bukan untuk mempromosikan salah satu paslon, dengan adanya tulisan ini dapat menjadi tempat ruah segala kecamuk penulis atas pemilu kali ini, juga ada harapan dapat mengedukasi bagi yang ingin mengambil kebaikan pada tulisan ini, selain itu. silahkan.
Agar rapi, dan nyaman dibaca. Penulis mencoba membagi melalui 4 perspektif atau poin. Perspektif pertama, mari kita awali dengan sejarah. kemudian ahli, agama, dan terakhir opini penulis itu sendiri.
Sejarah Pemilu
Pemilihan langsung (Pemilu) sudah melalui jalan panjangnya, pemilu dengan model yang kita kenal sekarang, berbeda dengan pemilu pada periode sebelumnya. Pemilihan Soekarno Hatta melalui aklamasi, tidak ada yang berinisiatif mengajukan pemimpin negara selain yang diusulkan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Semua orang saat sidang terima dan tidak ada yang meributkan.
Melansir dari website Komisi Pemilihan Umum(KPU) resmi, pemilu awalnya direncanakan terjadi pada tahun 1946, guna memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), karena beberapa pertimbangan pemilu ditiadakan. Pemilu kembali diadakan pada tahun 1955 untuk memilih anggota DPR dan anggota konstituante, saat itu dengan sudah adanya partai bentukan yang mewakili fraksi atau golongan.
Kemudian pada 5 Juli 1959, Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden. UUD 1945 dinyatakan sebagai Dasar Negara. Dan konstituante, dan DPR hasil Pemilu dibubarkan diganti dengan DPR-GR. Kabinet diganti dengan Kabinet Gotong Royong. Ketua DPR, Majelis Permusyawaratan (MPR), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Mahkamah Agung (MA) diangkat sebagai pembantu Soekarno dengan jabatan menteri.
Soekarno memimpin pada tidak adanya batasan hingga kapan presiden untuk berhenti, melalui Ketetapan MPRS No. III/MPRS tahun 1963, tentang Pengangkatan Soekarno sebagai Presiden seumur hidup. Hingga terjadinya puncak kerapuhan politik Indonesia terjadi ketika MPRS menolak Pidato Presiden Soekarno yang berjudul Nawaksara pada Sidang Umum Ke-IV tanggal 22 Juni 1966. Hal ini juga yang menjadikan turunnya Soekarno dan naiknya Soeharto, yang saat itu disahkan pada sidang paripurna MPR.
Setelah naiknya Soeharto, pemilu kembali diadakan di tahun 1971, sejak itu pemilihan presiden mulai berdasarkan mayoritas fraksi atau partai yang ada pada MPR, dari detiknews.com menyebutkan mayoritasnya fraksi Golongan Karya (Golkar) menjadi sebab Soeharto dapat memimpin selama 30 tahun. Tugas rakyat masih sama, memilih anggota DPR, DPR Daerah (DPRD) tingkat satu, dan DPRD tingkat dua.
Hal ini berjalan puluhan tahun lamanya, Soeharto memimpin dengan tangan besi, penembakan misterius (petrus) terjadi pada rentang 1982 hingga 1985, ini sebagai operasi pada masa pemerintahan Soeharto guna menghakimi orang-orang yang dinilai sebagai pelaku kejahatan dan akan dihakimi tanpa melalui proses hukum. Statement seperti ini tentu baik, tapi yang terjadi di lapangan, kita tidak tahu. Bungkam bukanlah solusi.
1998 menjadi akhirnya era Soeharto, Habibie naik menjadi presiden karena saat itu presiden mundur, dan yang menggantikan adalah wakil presiden, yang saat itu adalah Habibie. ini tertera pada Undang-undang No.29 tahun 1957. Alhasil pemilu tidak terlaksana saat itu.