Lihat ke Halaman Asli

Belajar dari Goncangan Politik di Filipina: Isolasi JK!

Diperbarui: 6 Desember 2016   14:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Politik Filipina baru saja bergoncang. Wakil Presiden Leni Robredo menyatakan mundur dari kabinet, dengan melepas jabatannya sebagai Menteri Perumahan di Pemerintahan Duterte.  Hal ini akibat setelah beberapa hari lalu Presiden Duterte resmi memerintahkan agar Robredo tidak lagi menghadiri rapat-rapat di kabinetnya.

Perlu diketahui, struktur eksekutif pemerintahan Filipina memang agak unik. Seorang Presiden dan Wakil Presiden berturut-turut adalah pemenang pertama dan kedua dalam pilpres. Keduanya sebelumnya dapat saja merupakan pesaing politik yang memiliki visi berbeda. Seorang Wapres dapat merangkap menteri di kabinet.   

Dalam surat pengunduran diri yang secara resmi dilayangkan oleh Wapres Robredo, disebutkan dirinya sejak awal pemerintahan memang berbeda secara prinsip dan nilai dengan kebijakan Presiden Duterte. Di antaranya adalah tentang: penguburan mantan Presiden Ferdinand Marcos di Libingan ng mga Bayani; pembunuhan ekstra-judisial, menghidupkan kembali hukuman mati, menurunkan batas usia tindakan kriminalitas, dan serangan-serangan seksual terhadap kaum perempuan.

Ditulis sebagai pembuka di surat yang sama, Wapres Robredo juga menyampaikan, bahwa dirinya merasa ada suatu plot pendongkelan (makar) terhadap dirinya. Sungguh menarik, ternyata peristiwa politik yang terjadi di Filipina ada kemiripannya dengan apa yang terjadi di Indonesia.

Yaitu sama-sama ada pimpinan politik yang merasa akan jadi korban makar, meskipun terbalik posisinya di Indonesia. Bila di Filipina korbannya adalah Wapres Robredo, di Indonesia adalah Presiden Jokowi. Seperti diketahui, wacana makar memang menguat di Indonesia, terutama menjelang Aksi Umat Islam 2 Desember 2016 (212) lalu. Meskipun terlihat kepolisian menangkap para aktivis yang vokal, tapi kecurigaan bahwa pelaku makar yang sebenarnya adalah Wapres JK terus menguat.

Diisukan, Wapres JK yang dekat dengan kalangan Islam berusaha menunggangi Aksi 212. Tidak aneh bila itu terjadi. Selain merupakan senior yang paling dihomati di korps Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dirinya masih menjabat Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI). Iparnya, Aksa Mahmud, masih merupakan pendana partai-partai Islam.

Saat partai-partai Islam yang disupport Aksa ini juga bertarung di Pilkada melawan Ahok, Wapres JK pun sudah menyatakan dukungan terbukanya pada Silvi (pasangan Agus) dan Anis. Kebetulan kedua kandidat Pilkada DKI ini juga satu almamater dengan JK sesama alumnus HMI. Jadi, dalam Aksi 212 menuntut Ahok dipenjara, terdapat juga tujuan politis menghabisi peluang Ahok di Pilkada DKI, pasti Wapres JK sangat berkepentingan.

Dan langkah Jokowi mendatangi, mendengarkan, dan sholat bersama para pimpinan dan massa Aksi 212 sudah tepat. Meskipun banyak kritik yang sebutkan bahwa tindakan Jokowi sama saja menaikkan pamor Habib Rizieq, itu adalah pilihan terbaik dari yang terburuk. Karena bila Jokowi kembali tidak hadir seperti pada Aksi 4 November 2016 (411), suasana kekecewaan massa akan semakin membuncah dan bukan tidak mungkin dapat didorong menjadi chaos dan kemudian krisis politik. Kehadiran Presiden secara rendah hati dalam Aksi Umat Islam 212, telah mendinginkan suhu politik.

Sepintas terdengar sas-sus, bahwa sebenarnya yang tempo hari menyarankan Jokowi tidak menemui massa pada Aksi 411 adalah Wapres JK dan Menkopolkam Wiranto. Pada Aksi 212 sebenarnya semua orang di sekelilingnya juga sarankan agar jangan ke turun ke tengah-tengah massa aksi dengan berbagai alasan keamanannya. Tapi dasar Presiden Jokowi ada koppig-nya, maka kali ini ia turun dan mengajak sebagian besar elit tertinggi membaur di tengah massa aksi 212.

Belajar dari goncangan politik di Filipina, Jokowi harus sudah mengambil tindakan politik yang lebih tegas untuk mengisolasi JK. Sudah semakin jelas, Wapres JK bermain politik di Pilkada DKI Jakarta. Hal ini bertentangan dengan prinsip Presiden Jokowi, yang tidak mengintervensi Pilkada DKI. Selain itu pula, publik masih ingat bahwa dalam beberapa isu strategis Wapres JK secara terbuka bertentangan dengan Presiden Jokowi. Semisal dalam isu: percepatan perpanjangan kontrak Freeport, pengembangan Blok Masela, Proyek Listrik 35 ribu MW, izin kapal penangkap ikan asing, dll.

Apalagi Wapres JK juga selama ini telah memanfaatkan pengaruhnya, agar kelompok bisnis keluarganya mendapatkan proyek-proyek pemerintah. Sungguh memalukan. Suatu karakter yang tidak berciri Revolusi Mental

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline