Jakarta adalah ibukota negara Indonesia. Sebagai ibukota negara sejatinya Jakarta bisa menjadi ikon sebuah kota besar yang mewakili kota lainnya di Indonesia. Bandara Soekarno Hatta yang ada di Jakarta juga menjadi salah satu pintu gerbang orang asing ketika masuk ke Indonesia selain melalui Bandara Ngurah Rai Bali, Bandara Sultan Hasanudin Makasar, Bandara Internasional Juanda Surabaya, Bandara Internasional Lombok di Lombok. Pintu gerbang di manapun berada selalu dibuat semenarik dan semewah mungkin, karena seperti katanya orang, "Pandangan pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah anda, mau menyebut baik atau jelek".
Namun, harapan saya yang menginginkan Jakarta sebagai sebuah kota besar yang indah dan menakjubkan pupus nan sirna sudah ketika setiap hari saya melihat melalui media TVdan Internet, bagaimana warga Jakarta harus berjuang melawan gempuran banjir yang bertubi-tubi. Hati saya miris sekali melihat ketika ada warga Jakarta yang menjadikan kasur dan lemari kayunya sebagai perahu. Sebuah pemandangan yang paradoks ketika di sebelahnya menjulang gedung-gedung pencakar langit, yang menurut orang, itulah lambang dari sebuah kemajuan teknologi dan peradaban di kota itu. Gedung-gedung itu sejatinya berkata, "wahai sekalian manusia yang datang ke Jakarta, inilah aku Jakarta, sebuah kota besar yang megah dan mewah. Silahkan kalian nikmati keindahanku, ada Tugu Monas, ada TMII, dll yang siap memanjakan kalian". Namun sayang, ketika orang asing datang, dia langsung "tenggelam dalam lautan banjir". Banjir itu seolah mengatakan, "Wahai para pengunjung kota Jakarta, pulanglah, aku adalah kota lautan, kota yang langganan banjir, aku takut kalian akan tenggelam".
Para pembaca yang budiman,
Tulisan ini bukanlah bermaksud ingin menjelekkan ibukota negara kita. Tetapi alangkah senangnya kita jika kita memiliki ibukota yang maju, megah, bersih, dan menawan. Sudah banyak kita dengar dan baca bagaimana bersih dan indahnya kota-kota di luar negeri seperti Singapura, Tokyo, Paris, London, New York, dan lainnya (mohon maaf, saya belum pernah ke kota itu, hanya sebatas membaca saja).
Sampah biang keladi Banjir
Setiap kali kita melihat banjir, sudah pasti kita melihat di sana begitu banyaknya sampah yang berserakan. Sungai-sungai itu penuh dengan sampah. Sepertinya memang sudah tertanam di benak masyarakat bahwa sungai itu juga berfungsi untuk membuang sampah. Inilah kebiasaan yang salah dalam masyarakat kita. Pemerintah pun sepertinya tidak punya solusi jitu dalam menangani sampah ini. Seolah membuang sampah di sungai adalah hal wajar dan dibolehkan.Tidak adanya aturan yang jelas tentang pengelolaan sampah ini juga menjadi alasan pemerintah malas mengurusi sampah ini. Ini menjadi PR besar bagi DPR terhormat. Seharusnya baik DPR Pusat maupun DPR Daerah membuat Undang-undang khusus tentang dunia persampahan ini. Jika sampah ini masih saja memenuhi sungai-sungai di Jakarta, maka menjadikan Sungai di Jakarta sebagai jalur transportasi seperti kanal-kanal di Belanda, akan hanya sebatas mimpi.
Kita berharap Gubernur dan Wagub DKI Joko Widodo & Ahok bisa menyelesaikan urusan banjir di Jakarta. Sehingga semua orang bisa berkata bahwa Jakarta bukan kota banjir tetapi kota mewah dan indah.
Berikut ini beberapa alternatif usaha untuk manajemen sampah dan banjir di Jakarta dan daerah lainnya:
- Pemda DKI dan daerah lainnya harus serius membuat aturan pelarangan membuang sampah di sungai. Karena sudah jelas bahwa sampah ini menyumbang 80% kelancaran arus sungai.
- Pemda harus membuat Tim Khusus yang menangani pengelolaan sampah dan masalah banjir
- Menanamkan kebiasaan di masyarakat baik melalui pengajian, pertemuan, arisan, rapat, dll bahwa kita tidak boleh membuang sampah di sembarang tempat.
- Harus ada penekanan akan kebersihan dan etika bersih di lingkungan sekolah dan perguruan tinggi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H