Lihat ke Halaman Asli

Belajar Kepada Nabi Ibrahim

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pada momen Hari Raya Idul Adha ini, tentu saja bukan hanya ritual hari raya yang begitu semangat kita lakukan atau kegiatan pemotongan hewan yang rutin kita lakukan. Sesungguhnya banyak sekali nilai spritual dan nilai sosial yang patut kita pelajari dan amalkan.

Sejenak, mari kita tengok sejarah masa lalu. Bukankah sejarah itu ibarat tarikan busur panah? Semakin jauh kita menariknya ke belakang maka semakin jauh jarak jangkauan anak panah melesat. Atau dalam bahasa fisika, semakin besar gaya tarik pegas panah itu ke belakang, maka semakin besar pula energi potensial pegas yang dihasilkan.

Belajar Beriman

Nabi Ibrahim adalah sosok manusia yang tidak puas tentang hakekat Tuhan. Beliau adalah sosok manusia yang menggunakan akal fikirannya (logika/nalar) dalam usahanya mencari Tuhan. Mungkin berbeda dengan kebanyakan kita, yang beragama dan bertuhan hanya karena faktor keturunan.

Ketika Nabi Ibrahim melihat matahari sangat besar dan menerangi alam semesta ini serta begitu besar pengaruhnya pada kehidupan manusia, lantas Nabi Ibrahim berkata "nah ini dia Tuhanku". Tetapi ketika dilihatnya matahari itu ternyata bisa tenggelam, maka berubahlah fikiran Nabi Ibrahim, lantas dia berkata "masak sih Tuhan bisa timbul dan tenggelam, kalau begitu matahari bukan tuhanku".

Malam pun hadir, dan tampaklah cahaya Bulan yang begitu terang. Nabi Ibrahim berkata, "wah, ini mungkin Tuhanku. Dia begitu cantik malam ini". Menjelang pagi hari, ternyata bulan menghilang. Maka Nabi Ibrahim pun berkata, "Ini bukan Tuhanku". Begitulah, nalar dan logika Nabi Ibrahim selalu mengalir dan terus mencari Tuhannya.

Di suatu hari, Nabi Ibrahim pun merusak patung-patung berhala sembahan nenek moyang dan orang-orang tuanya (termasuk patung ayah Nabi Ibrahim sendiri). Ibrahim bertanya kepada patung itu, "Apakah kamu tidak makan?", patung itu tidak bisa menjawab. "Hai patung, kenapa kamu diam saja tidak menjawab". Maka Ibrahim pun memukul patung itu dengan sekuat tenaga dan rusak berantkan. Melihat patung sembahannya rusak berantakan, sang ayah pun sangat marah melihat patung sesembahannya diluluhlantakkan oleh Nabi Ibrahim. Ayahnya berkata, "Hai Ibrahim, siapa yang merusak Tuhan-Tuhan kami? Pastilah kamu yang merusaknya". Nabi Ibrahim dengan cerdas menjawabnya, "Tanyakan saja pada Tuhanmu itu". Ya, patung itu tentu saja tidak bisa menjawab karena dia dibuat dari batu dan tanah oleh manusia.

Tak berapa lama, orang-orang banyak kemudian menangkap Ibrahim dan membakarnya hidup-hidup. Tetapi berkat Mukjizat dari Alloh SWT, Nabi Ibrahim sedikit pun tidak terbakar oleh api itu.

Maksud Nabi Ibrahim adalah kalau benar patung itu Tuhan, maka pastilah dia bisa berbicara dan menjawab. Kisah Nabi Ibrahim ini tentu saja masih cocok dengan kondisi sekarang, dimana masih banyak orang yang menjadikan batu, pohon, patung, manusia, dan sejenisnya sebagai Tuhan mereka. Atau mereka mengatakan bahwa patung itu sebagai simbol Tuhan mereka.

Maka, kita sebagai manusia yang berakal sudah seharusnya menggunakan akal fikiran kita secara sehat dan logis dalam mencari hakikat ketuhanan itu seperti pada kisah Nabi Ibrahim di atas. Bukan mengikuti nenek moyang, orang tua, atau adat kebiasaan yang turun temurun.

Belajar Ikhlas

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline