Lihat ke Halaman Asli

Pendidikan Indonesia masih belum Mendidik, Salah Siapa?

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13358834912033579025

[caption id="attachment_185540" align="aligncenter" width="300" caption="Tawuran Pelajar (Sumber: www.suaramerdeka.com)"][/caption] Setiap tanggal 2 Mei kita selalu memperingati Hari Pendidikan Nasional. Tanggal itu diambil dari tanggal kelahiran Ki Hajar Dewantoro, tanggal 2 Mei 1889 di Yogyakarta. Peringatan itu tuntuk mengenang jasa Beliau yang dianggap sangat berjasa sebagai pelopor pendidikan di Indonesia.

Di Indonesia, regulasi yang mengatur masalah pendidikan adalah Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU SISDIKNAS) Nomor 20 Tahun 2003. UU ini terdiri dari 22 Bab dan 77 Pasal. UU ini lah yang mengatur seluk beluk pelaksanaan pendidikan di Indonesia.

Bab 2 Pasal 7 mengatur tentang Dasar, Fungsi, dan Tujuan Pendidikan. Disebutkan bahwa "Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab."

Jika mencermati pesan yang termaktub dalam fungsi pendidikan di atas, rasanya tidak ada yang mau membantahnya. Namun demikian, seakan sudah kehilangan rohnya, fungsi di atas terlihat kontras sekali dengan pelaksanaan pendidikan yang saat ini sedang kita amati di Indonesia.

Kita ambil sebagai contoh adalah semakin hilangnya nilai-nilai akhlak mulia dan kejujuran di lembaga-lembaga pendidikan. Banyaknya tawuran para pelajar menghiasi berita utama di berbagai media cetak, televisi dan digital. Tawuran banyak terjadi diantara pelajar di sekolah-sekolah mereka. Para mahasiswa pun banyak tawuran di dalam kampus mereka, hingga menimbulkan korban luka, tewas, dan kerusakan fasilitas pendidikan. Tentu semua ini menjadi tanda tanya besar kepada seluruh elemen penting di negara ini. Menumpahkan semua kesalahan kepada para guru tidaklah tepat. Karena kehidupan para siswa dan mahasiswa tentu saja jauh lebih banyak di luar sekolah dan kampus mereka. Ya, tentu saja banyak faktor yang mempengaruhinya baik secara individual maupun komunal. Atau bisa saja dari faktor internal maupun eksternal di sekeliling siswa.

Sebagai contoh nyata yang kedua adalah seputar pelaksanaan Ujian Nasional (UN). Pemerintah hingga saat ini masih tetap melaksanakan Ujian Nasional dengan argumen bahwa hasil UN digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam: (a) pemetaan mutu program dan atau satuan pendidikan; (b) dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya; (c) penentu kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan; dan (d) dasar pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya meningkatkan dan memeratakan mutu pendidikan”.

[caption id="attachment_185541" align="aligncenter" width="360" caption="Aksi mencontek massal terjadi dalam ujian nasional (ilustrasi www.republika.co.id)"]

13358837791110232585

[/caption]

Yang menjadi inti persoalan adalah pada tingkat kejujuran dari pelaksanaan Ujian Nasional ini. Karena ketakutan di pihak sekolah, pihak Dinas Pendidikan, atau Pihak Pejabat daerah, menyebabkan Ujian Nasional ini seperti monster saja. Kerap terjadi kebocoran soal, beredarnya kunci jawaban, mencontek massal, atau tindakan-tindakan tidak terpuji lainnya. Ini menujukkan mungkin ada "sesuatu" yang salah pada landasan dasar pelaksanaannya, bukan pada pelaksanaan UN itu sendiri. Pemerintah pun sepertinya hanya mengutamakan aspek Kognitif dalam penilaian dari sekian banyak aspek penilaian dalam kurikulum. Aspek Psikomotorik dan Afektif sepertinya terabaikan.

Perbuatan tidak terpuji yang dilakukan oleh banyak sekolah dan daerah itu sangat bertolak belakang dengan amanah sebagaimana tertulis pada fungsi pendidikan di atas. Alih-alih mau menanamkan akhlak mulia justru kecurangan UN semakin merajalela.

Memang pemerintah selalu berusaha memperbaiki sistem pelaksanaan UN, seperti tahun ini dengan membuat 5 jenis variasi soal. Tetapi toh banyak beredar soal sebanyak 5 variasi soal juga. Pemerintah juga sedang giatnya menggalakkan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa (PBKB). Maka lahirlah integrasi pendidikan karakter (Pendikar) dalam silabus dan RPP para guru.

Namun demikian, apakah usaha-usaha seperti itu akan berhasil? Tentu saja masih harus diuji di lapangan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline