Lihat ke Halaman Asli

Mental Kere

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi itu bapak mengingatkanku pada sebuah pembicaraan dengan makelar motor. Di sela tawar menawar harga, sang makelar menyindir orang kampungku. “Jane wong nggawan (Kaligawan) kuwi mlarat kabeh opo piye to? Saben ono wong lahiran kok mesti ngurus JPS?” Tanyanya.

Bapak menjawab sambil senyum, “Lha sampean entuk beras jatah (raskin) opo ora?”

“Anu… Dhe. Nek kene ki di endum rata kok, Dhe.”

“Lha berarti kene rak yo kere kabeh?” Respon Bapak.

“Lha kuwi Kamitua (Kepala Dusun) malah entuk 1 sak (karung)!” Sahutnya, sambil menunjuk kepala dusun yang kebetulan ada dirumahnya.

Sontak tawa bersamaan menghentikan pembicaraan tentang hal itu.

***

Sebuah kenyataan yang miris. Raskin yang seharusnya sampai pada orang-orang atau keluarga yang benar-benar membutuhkan, namun fakta bercerita lain. Semua dibagi rata. Dan sang pamong pun mendapat bagian lebih alih-alih sebagai pengurus pembagian raskin itu. Fakta lain di beberapa desa, meski tidak dibagi rata, namun ada beberapa yang sebenarnya tidak berhak tapi mendapatkan. Entah apa alasannya sampai bisa begitu.

Sejumlah kabar angin yang menceritakan bawasannya hal itu sudah membudaya. Banyak hal yang tak tersalurkan sebagaimana mestinya. Intinya terpotong di jalan. Kalau tidak, ya penyalahgunaan prosedur semacam pemerataan pembagian raskin seperti di atas dan beragam penyalahgunaan lain yang belum aku pahami.

Sebenarnya orang yang berhak mendapat raskin ini sudah disortir oleh pimpinan desa. Namun, masih banyak orang mengajukan untuk mendapatkan raskin. Meski mampu, mereka menyatakan dirinya “kere” demi mendapatkan bantuan itu.

Sempat dengar kabar dari salah seorang rekan guru, bahwa ada pula guru yang mendapatkan raskin itu. Padahal, gaji guru PNS untuk kategori di desa sudah lebih dari cukup untuk hidup berkeluarga sederhana. Mereka iri ketika tetangganya yang bener-bener kurang mampu mendapatkan raskin. Konon hal itulah yang menjadikan pimpinan desa membagi rata raskin. Sungguh ini adalah mental kere. “Wong sugih ngaku kere, tapi ora gelem diarani kere.” Karena pada umumnya jika mereka disebut ‘kere’ marah-marah. Ini adalah salah satu contoh orang terdidik tapi bermental kere. ‘Ngemis’ hak rakyat miskin. Ironis memang. Seorang terdidik malah menjadi “penjajah” dilingkungannya sendiri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline