Lihat ke Halaman Asli

Karena Rambutan

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari lalu aku di ajak, Ria, main ke rumah temen kuliahnya. Desi namanya. Ia tinggal di pinggiran kabupaten Ngawi. Tepatnya Desa Tulakan, Kecamatan Sine—Ngawi. Ngawi bagian barat yang berbatasan langsung dengan kabupaten Sragen.

Hari itu kebetulan aku pulang pagi, karena hari Sabtu itu di sekolah kegiatannya hanya pembagian rapot. Jadi, usai pembagian rapotpun aku meluncur menghampiri Ria dan berangkat ke Ngawi. Jam 10-an kami berangkat dari rumah.

Dua jam lebih kami sampai Ngawi. Menyusur hancurnya jalan dari rumah—Kuwu—Sragen. Sebelum menikmati lempengnya jalan Sragen—Ngawi. Termasuk nunggui tukang tambal ban yang menambal sepeda motorku bocor.
Daerahnya cukup sejuk. Pasti kalau yang terbiasa di daerah panas kemudian kesana, akan terasa kedinginan. Jalanannya pun naik-turun. Tapi, bagus. Jauh dibandingkan wilayah kabupatenku, Blora. Setiap keluar rumah, harus siap masuk gubangan lumpur di jalan.


***

Awalnya aku tak kenal Desi. Niatku hanya mengantar Ria yang ingin main ke rumah Desi. Jadi, tiada lain urusanku selain itu. Ketika sudah sampai tujuan, dan Ria asyik ngobrol sama Desi, akupun memilih diam menikmati suguhan rambutan yang ada.

“Naik, pak, kalau mau ambil rambutan langsung dari pohonnya,” tawar Desi.
“Ehmmm, ya… nanti saja,” Jawabku sembari menunggu waktu yang pas untuk manjat.

Nangkring di pohon rambutan membuatku teringat 2004 yang lalu, saat aku menjadi kenek di daerah Cikunir, Bekasi. Waktu aku jadi kenek di perumahan. Setiap jam istirahat pasti aku nangkring di atas pohon rambutan yang siap panen di halaman rumah yang sedang aku garap bersama bapak, mas ku, dan beberapa tenaga yang lain.


***

Lulus 2004 dari STM swasta di Cepu, aku ke Jakarta. Dan tinggal sementara di rumah Pak Dhe di daerah Cipete Utara, Jakarta Selatan. Niat awal ingin mendaftarkan diri jadi TNI. Tak tahu kenapa aku ingin jadi TNI. Mungkin karena tren anak-anak didaerahku yang umumnya lulus kemudian mendaftarkan diri menjadi TNI dan POLRI.

Niat itu kandas. Bapak-Emak tak mengijinkan aku mendaftar. Mereka menghendaki aku kuliah keguruan. Agar kelak aku menjadi guru. Aku belum bisa mengamini niat mereka. Sembari bantu-bantu Pak Dhe jualan di warung yang bergandengan dengan pangkalan bajay dan jualan sembako di rumahnya sendiri, aku mendaftarkan diri di beberapa perusahaan dan bengkel yang sesuai dengan jurusan sekolahku. Tapi, pengalaman menjadi prioritas tim penyeleksi. Al hasil, dari beberapa lamaran tak ada satupun yang berujung panggilan.

Stres memang, saat harap tak berwujud. Koran selalu menjadi suguhan tiap pagi. Halaman penyedia lowongan pekerjaan menjadi sasaran utama untuk dibaca. Berharap ada tawaran pas untuk tujuan surat lamaran. Namun, langkah itu Nihil. Hingga akhirnya aku medapat tawaran dari seorang keponakannya Pak Dhe untuk melamar di Robinson—Blok M. Akupun mengajukan lamaran kesana dengan alasan daripada tidak ada. Beberapa hari setelah lamaran aku titipkan, akupun wawancara. Alhamdulillah, aku diterima.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline