Minggu lalu ada berita seru, Presiden Jokowi memilih Soetrisno Bachir sebagai ketua KEIN (Komite Ekonomi dan Industri Nasional). Lembaga ini sebelumnya berdiri pada era Presiden SBY dengan nama KEN (Komite Ekonomi Nasional), namun demikian dimasa Presiden Jokowi, komite yang berusaha mempertemukan para ekonom dan pengusaha untuk memberi rekomendasi agenda-agenda ekonomi pemerintah ini memiliki tugas yang lebih strategis. Tidak saja mengurus soal ekonomi, lebih spesifik lembaga KEIN terfokus pada agenda industrialisasi Indonesia sebagai tulang punggung pertumbuhan ekonomi nasional.
Kali ini saya ingin mendiskusikan mengapa industrialisasi Indonesia ini penting dan selanjutnya kita akan membahas tentang figur Soetrisno Bachir sebagai panglima ekonomi dan industri nasional dengan jabatannya sebagai ketua KEIN. Selama ini dalam konteks globalisasi ekonomi, kita selalu dicekoki oleh gagasan-gagasan neolib propasar yang menyatakan bahwa Indonesia tidak perlu berfikir panjang tentang membangun industri bagi ketahanan ekonominya. Cukuplah dengan membangun kerangka kelembagaan ekonomi propasar yang ramah terhadap investasi melalui praktik deregulasi, kebijakan pajak yang ramah terhadap investor dan privatisasi BUMN. Semua itu diperlukan agar kita bisa masuk dalam rezim perdagangan bebas dan menjadikan Indonesia dengan penduduk yang sangat besar dan wilayah yang begitu luas ini sebagai pasar bagi perdagangan antarbangsa.
Dari pandangan paradigma ekonomi diatas, tanpa harus bingung memikirkan desain industrialisasi yang relevan untuk pembangunan ekonomi pemasukan nasional tetap masuk mengalir, persaingan pasar akan membuat harga barang-barang menjadi lebih murah, dan tenaga kerja terserap seiring dengan banyaknya investasi yang masuk ke Indonesia.
Ketika kita terseret oleh gendang indoktrinasi neoliberal yang dihembuskan oleh para pendukungnya dengan gagasan free market diatas, kita melupakan bahwa pemikiran ekonomi para pendiri bangsa kita sudah menyatakan bahwa pandangan-pandangan ekonomi seperti di atas tidak adalah daur ulang gagasan nekolim (neokolonialisme) yang menjadikan, Pertama, Indonesia sebagai penghasil bahan-bahan mentah untuk industri dari negara-negara maju. Kedua, Indonesia sebagai pasar bagi kekuatan-kekuatan borjuasi internasional tempat mereka mencari untung. Ketiga, perekonomian Indonesia tidak akan pernah memiliki basis ekonomi yang kuat, ketika kekuatan borjuasi nasional tidak tumbuh berkembang bersaing dengann kekuatan ekonomi dari bangsa lain yang memanfaatkan pasar Indonesia.
Mari kita ingat kembali pidato Pak Karno dalam Rencana Pembangunan Nasional Semesta Berencana tahun 1959. Disitu disebutkan bahwa Indonesia harus keluar dari model ekonomi kolonial menuju ekonomi nasional. Indonesia tidak lagi menjadi bangsa kuli, pasar bagi kekuatan ekonomi diluar bangsanya dan membiarkan bangsa-bangsa lain mengeksploitasi dan menyerap kekayaan kita, sementara kita tidak lebih menjadi masyarakat konsumen. Agenda industrialisasi nasional adalah agenda penting yang sudah dicanangkan bertahun-tahun lamanya oleh pendiri republik Bung Karno! Saudara-saudara ini bukan hanya orasi dan jargon kosong.
Apabila anda pernah menelusuri sejarah ekonomi dunia, yang salah satunya pernah dituturkan oleh salah seorang ekonom bernama Ha-Joon Chang (2007) dalam karyanya Bad Samaritans: The Guilty Secrets of Rich Nations & The Threat to Global Prosperity, dia menyebutkan jangan mempercayai apa yang diucapkan oleh negara-negara maju tapi percayalah pada sejarah tentang apa saja yang telah mereka lakukan untuk tumbuh menjadi negara maju. Negara-negara maju seperti Inggris, Amerika Serikat, Eropa dan negara-negara Asia yang mengikutinya seperti Jepang, China dan Korea Selatan adalah negeri-negeri yang mana negaranya memiliki perencanaan untuk mengkonsolidasikan kebijakan industri, sehingga perusahaan-perusahaan mereka menjadi kekuatan ekonomi raksasa. Namun demikian ketika saat ini kita masuk pada era pasar bebas, maka negara-negara besar ini kemudian menghembuskan mantra-mantra globalisasi yang menekankan prinsip keterbukaan ekonomi, pasar bebas, deregulasi dan tidak perlunya negara campur tangan untuk mengembangkan kebijakan industrinya. Sialnya selama ini negeri kita ikut dengan mantra-mantra kaum globalis dan nekolim diatas, tanpa jeli membaca sejarah negara-negara pencipta mantra ini bagaimana ceritanya menjadi negara yang besar!
Padahal dengan justru berbagai modal yang kita miliki kekayaan alam yang melimpah, jumlah sumber daya manusia yang besar dan kekuatan ekonomi yang kita miliki mengapa justru kita tidak membangun basis industri yang menopang ekonomi kita untuk bersaing seperti di era MEA mendatang. Kehendak untuk bangkit seperti ini untungnya cepat disadari oleh Presiden Jokowi.
Selanjutnya kita melihat profil dari Soetrisno Bachir. Beliau adalah salah satu dari sedikit kaum borjuasi nasional yang tumbuh dan mengembangkan usahanya secara mandiri tanpa bantuan fasilitas negara. Setelah mulai berkiprah dan mapan, Mas Tris, sapaan akrab Soetrisno Bachir, masuk ke dunia politik melalui PAN karena ibunya yang berlatar belakang Muhammadiyah meminta beliau membantu Amien Rais. Dalam gemblengan politik dan jatuh bangun yang berlangsung di dalamnya, Mas Tris ternyata berhasil membangun koneksi social network yang cukup kuat dengan banyak kalangan.
Sehingga meskipun PAN dalam pilpres kemarin tidak mendukung Jokowi, namun Soetrisno Bachir memiliki sikap independen dan mendukung pasangan Jokowi-JK dalam Pilpres 2014. Sehingga ketika proses pilpres selesai dan Jokowi menjadi presiden, Soetrisno Bachir menjadi tokoh elite yang memiliki keistimewaan untuk menjadi penghubung dengan elite-elite nasional dari kubu pemerintah sampai ke kubu KMP. Selain itu sebagai aktivis dengan latar belakang pergerakan Islam, Mas Tris mampu menghubungkan para aktivis dan kalangan akademisi dari berbagai latar belakang seperti HMI, PII, GPI dan IMM sampai Muhammadiyah dan ormas yang berlatar belakang NU. Dalam hubungan-hubungan sosial tersebut Mas Tris kerapkali menggulirkan pentingnya semangat inovasi dan entrepreneurship sehingga para aktivis tidak harus bergantung dengan patronase politik dengan para senior-seniornya. Sementara itu dalam konteks perannya sebagai pengusaha nasional, sejak lama karena dia mengalami sendiri kerasnya persaingan di dunia usaha, ia tumbuh sebagai pengusaha nasional yang sadar bahwa memang negara harus hadir untuk mengkonsolidasikan strategi industrialisasi nasional, sehingga dalam persaingan ke depan ekonomi kita tidak demikian mudah terinjak-injak dan terhantam oleh kekuatan ekonomi global yang datang ke Indonesia tanpa ketahanan ekonomi yang kokoh!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H