Satu dua minggu terakhir, hiruk pikuk dan keriuhan pemberitaan terkait Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) menjadi topik utama di media sosial maupun pemberitaan media utama nasional.
Berita yang cukup mencuat antara lain berbagai protes orang tua calon siswa tentang pengaturan cakupan zonasi, perimbangan proporsi siswa berdasar jalur penerimaan, proporsi jalur prestasi yang rendah, problem sinkronisasi peraturan di tingkat kementerian dengan pemerintah daerah serta teknis pendaftaran dan prosedur seleksi.
Berita tentang orangtua calon siswa yang rela menginap di sekolah sejak sore hari sebelum dimulainya pendaftaran supaya memperoleh nomor urut paling awal melalui jalur zona utama, berita tentang calon siswa yang rumahnya berseberangan dengan sekolah namun tidak diterima menjadi siswa di sekolah di dekatnya karena berbeda zona juga menjadi berita yang menarik perhatian publik.
Introduksi Zonasi PPDB
Secara historis, penerimaan peserta didik baru sekolah di Indonesia telah mengalami berbagai perubahan sistem dan mekanisme antara lain tes tertulis oleh masing-masing sekolah, seleksi mengunakan Nilai EBTANAS Murni (NEM), seleksi mengunakan nilai Ujian Akhir Nasional (UAN) serta yang terkahir seleksi berdasar zonasi yang dikombinasi dengan nilai UAN.
Pada model yang terakhir, selain model kompetisi nilai ujian, dalam penerimaan siswa baru juga mulai dikenalkan sistem prioritas dan quota bagi siswa dari dalam wilayah kabupaten atau kota lokasi sekolah.
Sistem zonasi penerimaan calon peserta didik baru mulai dikenalkan sejak tahun 2017. Sistem baru PPDB berbasis zonasi cukup kotraversial bagi berbagai kalangan terkait.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang PPDB berbasis zonasi prinsipnya mengatur penerimaan calon peserta didik baru dengan mempertimbangkan kriteria dengan urutan prioritas sesuai daya tampung berdasarkan zona yang ditetapkan oleh pemerintah daerah.
Pada awalnya zona berdasarkan jarak tempat tinggal ke sekolah misalnya zona 1 dengan radius 5 km, zona 2 dengan radius 5-10 km dan zona 3 dengan radius lebih dari 10 km.
Pada PPDB tingkat SMA tahun ini jarak masih menjadi pertimbangan, namun bukan berdasarkan murni radius, zona diatur oleh pemerintah daerah berdasar desa dan kecamatan yang dekat dengan lokasi sekolah.
Misalnya di Yogyakarta, setiap desa diplot masuk zonasi 1 pada 2 sekolah yang relatif dekat (tidak lagi sepenuhnya berdasarkan radius jarak dari sekolah seperti tahun sebelumnya. Kriteria ploting desa ke dalam sekolah tertentu juga masih menjadi pertanyaan publik.