Memutar kembali rekaman peristiwa beberapa waktu yang lalu saat dalam sambutan peresmian MRT di Jakarta, Presiden Joko Widodo berpesan bahwa MRT akan menjadi budaya baru transportasi di Indonesia. Budaya baru transportasi menuntut perilaku dan mentalitas masyarakat berdisiplinan, menghargai pentingnya proses dan hak orang lain.
Membentuk budaya baru bukanlah perkara yang mudah. Antropolog legendaris Koentjaraningrat dalam bukunya "Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan" memberikan pesan moral bahwa masyarakat Indonesia masih memiliki cukup banyak budaya dan mentalitas negatif yang menghambat pembangunan nasional. Mentalitas menerabas identik dengan mengambil jalan pintas oleh seseorang guna mencapai tujuan secara instan serta perilaku kurang disiplin merupakan contoh nyata dalam masyarakat.
Mentalitas Menerabas
Beberapa indikasi masih melekatnya mentalitas menerabas, tidak disiplin dan kurang menghargai hak orang lain terlihat dari beberapa kejadian yang sempat viral di media sosial pasca peresmian MRT di Jakarta. Sekelompok orang membawa makanan dan menikmati makanan di lorong jalur kereta, seseorang yang berdiri sambil menaruh kaki bersepatu di tempat duduk kereta dan seseorang yang bergelantungan bermain dalam kereta.
Selain itu, persoalan kemauan masyarakat antri dengan tertib menunggu giliran masuk kereta juga masih menjadi masalah yang cukup serius. Ini juga menandakan kita masih menghadapi masalah kedisiplinan dan belum menghargai pentingnya proses.
Contoh modernisasi dan kemajuan teknologi transportasi yang sangat pesat seperti MRT yang belum diimbangi dengan kecepatan perubahan budaya masyarakat dalam bertransportasi modern nampaknya sejalan dengan fenomena yang dikemukakan Sosiolog William Ogburn dengan teori perubahan sosial fungsionalis. Perbedaan kecepatan adopsi teknologi dan perubahan budaya akan menyebakan terjadinya kesenjangan dan kejutan budaya (cultural lag).
Pentingnya Edukasi Publik
Koentjaraningrat menyarankan masyarakat Indonesia perlu belajar dan meniru mentalitas dan budaya masyarakat Jepang yang sangat kondusif mendukung keberhasilan pembangunan. Perubahan budaya dan mentalitas masyarakat memerlukan edukasi dan sosialisasi publik secara sistematis.
Mentalitas dan budaya masyarakat Jepang telah tumbuh ratusan tahun yang berakar dari budaya agraris dimana solidaritas dan modal sosial sangat mewarnai keseharian masyarakat (Subejo, 2011). Kedisiplinan, solidaritas, tepo sliro dan penghargaan pentingnya proses dan hak orang lain menjadi bukti atas keberhasilan mereka dalam efektivitas pemanfaatan transportasi modern, efektivitas penanganan bencana dan pengelolaan sampah dan lingkungan yang baik.
Perilaku bertransportasi modern yang baik misalnya ketertiban antrian, tidak menduduki priority seat (kursi untuk anak kecil, orang tua, ibu hamil dan difabel), tidak melakukan pembicaan dengan telpun, tidak bercakap keras, tidak membuang sampah dalam kereta, tidak makan dalam kereta dan tidak merokok.
Pada puncak kesibukan (rush hour) dimana ribuan orang berangkat dan pulang beraktivitas, namun mereka tetap bersedia antri dengan baik menjadi pemandangan keseharian di stasiun kawasan bisnis seperti Tokyo, Shinjuku, Shibuya dan Akihabara.