Generasi Z, atau yang lebih dikenal dengan istilah Gen Z, kini berjumlah sekitar 46 juta di Indonesia, dan mereka sedang berada di persimpangan besar dalam hidup. Tantangan ekonomi, disrupsi teknologi, dan ketidakpastian masa depan menjadi bagian dari keseharian mereka. Dengan Pilkada 2024 yang semakin dekat, pertanyaan mendesak muncul: apakah program-program yang dijanjikan oleh calon kepala daerah (paslon) mampu menjawab kebutuhan generasi ini? Mampukah solusi yang ditawarkan mengatasi masalah nyata yang mereka hadapi?
Artikel ini akan mengurai janji-janji para paslon dari sudut pandang Gen Z, mengkaji implementasi dan efektivitasnya, serta memberikan ruang bagi gagasan-gagasan baru yang mungkin bisa menjadi solusi.
Sebagai generasi yang tumbuh di era digital dan percepatan teknologi, Gen Z menghadapi tantangan berbeda dibandingkan generasi sebelumnya. Pasar kerja yang semakin kompetitif, ketidakpastian ekonomi, serta berkembangnya pekerjaan fleksibel seperti freelance atau gig economy, mendorong mereka untuk mencari program yang benar-benar relevan.
Beberapa paslon mengajukan program pelatihan digital, pengembangan wirausaha muda, serta peningkatan keterampilan teknologi sebagai solusi. Namun, apakah janji ini mampu menyentuh semua lapisan Gen Z? Misalnya, program pelatihan coding yang ditawarkan salah satu paslon terdengar menarik, tetapi apakah semua sekolah di Indonesia memiliki akses teknologi yang memadai untuk mendukung pelatihan tersebut? Banyak wilayah terpencil di Indonesia yang mungkin belum tersentuh teknologi canggih, sehingga janji ini dapat menjadi tantangan besar dalam hal implementasi.
Selain itu, pelatihan yang ditawarkan harus inklusif, memastikan bahwa Gen Z dari latar belakang ekonomi mana pun dapat memperoleh manfaat dari program ini. Tanpa akses yang setara, janji-janji ambisius ini mungkin hanya menjadi solusi parsial yang tidak menyentuh akar permasalahan.
Salah satu persoalan krusial yang harus kita tanyakan adalah: seberapa efektif janji-janji paslon dapat diimplementasikan? Dalam konteks Indonesia, kita seringkali mendengar janji besar, namun realitas di lapangan seringkali jauh dari ekspektasi.
Misalnya, janji untuk meningkatkan lapangan kerja di sektor kreatif dan teknologi. Ini tentu menjawab tren saat ini di mana Gen Z cenderung tertarik pada industri berbasis teknologi dan inovasi. Namun, apakah pemerintah daerah siap dengan infrastruktur dan regulasi yang mendukung? Selain itu, apakah program tersebut mampu menciptakan iklim investasi yang mendukung pertumbuhan ekonomi lokal dan menarik minat perusahaan teknologi global?
Janji pembangunan kawasan industri dan pabrik mungkin sudah tidak relevan bagi Gen Z yang lebih tertarik pada pekerjaan digital. Ke depan, mereka membutuhkan janji yang mampu membuka akses pada ekosistem ekonomi baru, di mana kreativitas, inovasi, dan fleksibilitas menjadi kunci.
Jika kita berbicara tentang kebutuhan Gen Z, pekerjaan memang menjadi isu utama, tetapi bukan satu-satunya. Mereka mencari lebih dari sekadar stabilitas ekonomi; kesejahteraan mental, keseimbangan kerja-hidup, dan lingkungan yang mendukung kreativitas adalah hal-hal yang juga sangat penting bagi mereka.
Banyak Gen Z yang terdampak oleh ketidakpastian seperti PHK akibat pandemi. Dalam situasi ini, program-program yang ditawarkan oleh para calon kepala daerah harus melampaui solusi jangka pendek. Solusi yang mengedepankan jaminan sosial, akses ke layanan kesehatan mental, serta kebijakan yang fleksibel bagi pekerja di sektor informal, menjadi kebutuhan nyata yang mereka harapkan.
Jika Gen Z hanya dijanjikan bantuan tunai atau pelatihan kerja sementara, ini mungkin tidak cukup. Mereka membutuhkan program yang lebih holistik, yang dapat memberikan perlindungan jangka panjang dari ketidakstabilan di masa depan. Misalnya, perlindungan hukum bagi pekerja freelance atau kontrak jangka pendek bisa menjadi langkah signifikan yang diharapkan mereka.