Lihat ke Halaman Asli

Subari

Praktisi Penyiaran

Ma’af Paksaan dan Religiositas Jiddan

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

[caption id="attachment_133106" align="alignleft" width="300" caption="illustrasi (andrapsp.com)"][/caption] Tulisan Kompasianer Jiddan di Kompasiana tentang Penetapan 1 Syawal 1432 H di Arab Saudi, memiliki resonansi luar biasa. Tulisan tersebut mampu menyedot ratusan ribu bahkan mungkin jutaan pembaca, setelah  di share ke berbagai jejaring sosial danblog di luar Kompasiana. Inilah salah satu keunggulan internet, yang mampu menyebarkan informasi secara simultan dalam waktu yang relatif singkat, sehingga mampu memancing beragam komentar dan tanggapan.

Selain komentar dan tanggapan positif, ada juga komentar dan tanggapan miring terhadap tulisan Jiddan. Isi tulisan dinilai mengandung kebohongan dan sumber yang dijadikan dasar tulisan dinilai tidak kredibel. Oleh karena itu, penulisnya dituntut minta ma’af secara terbuka kepada publik karena dinilai telah menyebarkan kebohongan. Beragam juga cara orang meminta Jiddan meminta ma’af. Ada yang sebatas saran, ada pula yang main paksa. Bahkan, meski Jiddan telah mencabut tulisannya dan minta maaf, ada juga orang yang masih memaksa Jiddan mengakui kebohongannya dan memaksanya meminta maaf. Ibaratnya, orang itu terus memaksa Jiddan meminta ma’af meski Jiddan sudah lari terbirit-birit kebingungan untuk menjawabnya. Oalah...!

Siapa pun mafhum, meminta maaf atas kesalahan yang diperbuat adalah perbuatan mulia yang dianjurkan agama. Meminta ma’af adalah sikap yang terpuji dan akan menghilangkan sekat penghalang hubungan silaturrahim antar manusia. Sikap saling mema’afkan bisa dimanfaatkan untuk menghapus kesalahan dan dampak yang ditimbulkan terhadap orang lain yang mungkin dirugikan. Tentu saja, jika pemintaan maaf dan sikap saling memaafkan itu dilakukan secara tulus dan ikhlas dengan penuh kesadaran. Nah, bagaimana kalau permintaan itu dilakukan karena kepepet akibat desakan dan paksaan orang lain?

Menurut hemat saya,niat dan tujuan yang baik belum tentu membuahkan hasil yang baik kalau disampaikan dengan cara yang kurang baik. Ketika ada seorang pria melihat gadis cantik, adalah wajar dan baik jika dia tertarik dan berniat berkenalan, mengungkapkan rasa cintanya dengan harapan bisa mempersuntingnya. Dengan cara dan pendekatan yang simpatik, terbuka kemungkinan si gadis cantik itu menerima ungkapan cinta pria yang juga tampan itu. Jika ungkapan cinta bersambut, maka terjadilah hubungan saling mancintai yang mungkin bisa berlanjut ke jenjang pernikahan. Nah, bagaimana jika rasa cinta itu diungkapkan dengan cara memaksa si gadis untuk mencintainya, bahkan dengan mengejar si gadis hingga ke kamarnya? Jangankan gayung bersambut, tidak dilempar sandal oleh orang tuanya pun sudah untung.

Motivasi Menulis

Kembali ke topik tentang tulisanJiddan, saya pribadi sebenarnya kurang sependapat dengan keputusanJiddan mencabut tulisannya yang kontroversial itu.Pendapat ini berdasar asumsi, Pertama, ketika hendak membuat tulisan itu, Jiddan benar-benar berniatuntuk berbagi ilmu dengan orang lain sehingga tulisan yang diposting bisa memberi manfaat kepada orang lain. Kedua, sebelum mengungkapkan pendapatnya tentang masalah yang hendak ditulis, Jiddan benar-benar telah mempertimbangkan keshahihan (kredibilitas) sumber yang dijadikan rujukan untuk memperkuat pendapatnya. Ketiga,tidak ada unsur sengaja menebar kebohongan atau unsur main-main dalam memposting sebuah tulisan, termasuk dalam memilih judul tulisan yang diposting untuk menarik minat pembaca.

Jika ketiga asumsi itu terpenuhi dan akhirnya tulisan yang diposting menuaikontroversi, sikap terbaik yang bisa dilakukan adalah mengoreksi tulisan dan menyempurnakannyadengan dasar yang lebih shaheh dan bisa dipertanggungjawabkan. Jadi bukan mencabut tulisan dan menganggap tulisan itu tidak pernah ada. Manusia adalah tempatnya khilaf dan salah. Rasanya tidak perlu tabu kita mengakui kesalahandan merubah-sempurnakan dengan mengikuti pendapat yang memiliki dasar yang lebih shahih. Apalagi jika kesalahan itu terjadi bukan disengaja tapi karena keterbatasan ilmu. Dalam dunia ilmiah pun, teori yang sudah lama berlaku, bisa dikoreksi atau digantikan dengan temuan dan teori baru yang lebih shahih dan bisa dipertanggungjawabkan.

Dalam kontek keagamaan, mungkin kita bisa mengambil analogi dengan meminjam istilah para ahli sosiologi, yang membedakan agama (religion) dengan keberagamaan (religiositas). Sebagai sebuah agama (religion), ajaran Islam memiliki kebenaran mutlak yang datang dari Allah SWT. Tetapi penafsiran dan pemahaman umat Islam terhadap ajaran Islam(religiositas), memiliki kebenaran yang relatif. Di ranah inilah sering kita lihat terjadi banyak perbedaan pendapat dan aliran dalan Islam, khususnya dalam masalah-masalahfiqhyah. Dengan pemahaman ini pula, menurut hemat saya, keberagamaan yang paling produktif bagi orang awam, adalah keberagamaan yang bersandar pada dasar yang diyakini paling shahih dan bisa dipertanggungjawabkam.

Akhirnya, dengan dasar pemikiran tersebut, rasanya tidak perlu tabu bagi seorang penulis untuk mengkoreksi dan merubah-sempurnakan tulisan yang telah dibuat dengan harapan bisa memberi manfaat kepada orang lain. Niat dan tujuan yang baik, belum tentu membuahkan hasil yang baik kalu tidak dilakukan dengan cara yang baik. Sekecil dan sependek apa pun tulisan yang kita posting, jangan sekali-kali diniatkan untuk main-main, apalagi sengaja menebar kebohongan. Resikonya bisa fatal. Mungkin kita belum lupa, ada sorang Kompasianer yang menjadisalah satu target sasaran bom akibat tulisan-tulisannya di Kompasiana. Padahal, mungkin orang yang bersangkutan, punya niat dan tujuan baik ketika hendak menulis.

Ah, lama-lama mungkin ada diantara anda yang merasa saya gurui, padahal saya hanyalah orang awam yang bermodal semangat untuk berbagi. Saya yakin anda semua cukup paham dengan apa yang saya ungkapkan. Semoga tulisan ini bisa menjadi setitik bahan renungan dan kita terus berkomitmen untuk berkarya dan memposting tulisan-tulisan yang mencerdaskan. dan mencerahkan atau minimal menghibur.

Salam hangat dan tetap semangat

Imam Subari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline