Terbukti sudah bahwa mahar politik telah meluluh lantakan tatanan bernegara yg beretika dan bermoral. Uang telah mengalahkan idealisma dan cita cita pendiri bangsa maka tidak mengherankan sehingga mahar politik telah melahirkan seorang bupati pecandu narkoba.
Demikian juga poltik uang telah melahirkan anggota DPR ataupun DPRD yang bermental pecundang atau politisi ayam sayur yang kwalitasnya ecek ecek sehingga hanya akan melahirkan juga aturan yang melanggar aturan dan melanggar adab etika berpolitik.
Malu rasanya kepada para pendiri bangsa yang dengan begitu kerasnya berjuang mengusir kezaliman dengan niat suci untuk bangsa dan Negara tetapi sekarang yang mengisi adalah pelacur dan begundal politik yang jauh dari nilai nilai kejuangan apalagi nilai nilai kepemimpinan.
Bangsa ini dibangun dengan tetesan air mata,keringat darah dan juga nyawa oleh para pendiri bangsa tetapi saat ini ibu pertiwi menangisi nasib bangsa ini dari perilaku hedonis petingginya. Itulah hasil dari politik uang atau mahar politik.
Rakyat kecil sudah diajari untuk menerima uang hasil dari penjualan harga diri dan suaranya lewat pemilihan baik kepala desa,DPRD ataupun raja kecil yang lainya sehingga tak mungkin bisa bersuara lantang untuk mengkritisi kebijakan atau tingkah para petinggi di daerahnya meskipun pecandu narkoba ataupun pecandu selingkuh.
Petinggi di daerah juga berhak untuk memasung kekritisan warganya karena mereka sudah merasa membeli suaranya. Sehingga terjadilah simbiosis mutualisme saling menguntungkan antara rakyat dan petingginya.
Ada anggota DPRD yang hanya lulusan uper SMP dan Uper (ujian persamaan) atau ujian paket C setara SMA bisa menduduki anggota dewan karena memiliki harta berlimpah untuk membeli suara. Sehingga mutu dan kwalitasnya sungguh memalukan. Bisa dilihat dari pernyataan pernyataanya maupun tingkah laku di masyarakat yang tidak mencerminkan perilaku seorang pejabat public.
Dunia perpolitikan telah terbalik 180 derajat yang mana kader partai yang mengabdi dari tingkat bawah sampai bisa masuk pengurus tetapi akan kalah dengan pengusaha yang baru bergabung asalkan bisa memberi mahar kepada partai.
Dahulu pada saat Pemilu masih menggunakan nomor urut dalam caleg di kabupaten atau propinsi maka nomor urut bisa di lelang kepada pemberi mahar tertinggi maka bisa menduduki nomor jadi atau nomor urut 1. Dan bagi kader lama cukup nomor sepatu.
Sekarang lebih hebat lagi karena setiap caleg dalam satu partai saja saling sikut untuk berlomba memberi harga yang lebih tinggi kepada pemilih apalagi antar pertai.
Di kampung saya sebenarnya yang namanya pesta demokrasi benar benar pesta rakyat karena satu keluarga bisa mendapatkan amplop sampai 6 kali dari caleg atau calon kades. Kalau satu keluarga ada 4 anggota keluarga x Rp.100.000 x 6 maka dalam satu keluarga bisa mendapatkan 2.400.000.- dan yang dipilih tetap satu. Bahkan ada yang tidak berangkat ke TPS karena bingung mana yang akan di coblos.