Lihat ke Halaman Asli

Jangan Wariskan Air Mata!

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13274685771715804310

[caption id="attachment_166085" align="aligncenter" width="573" caption="Siklus Hidrologi"][/caption]

Ketika sungai-sungai kotor Mata air terkontaminasi Ketika air tanah berlimbah Jangan cuma diam dan menunggu Berbuatlah untuk air, yeah

Ketika sumur-sumur mengering Ketika bumi makin memanas Sumber kehidupan tak ada lagi Jangan cuma diam dan menunggu, hei Berhematlah, berhematlah Berhematlah untuk air

Beberapa penggal lirik lagu Krisis Air karya grup band Slank di atas, seakan mengingatkan kita akan jumlah ketersediaan air bersih di bumi yang mulai berkurang. Kondisi air yang tak layak konsumsi, dampak kekurangan air dan upaya kita untuk menyelamatkan air. Sudahkah kita bergerak?

Data mencengangkan dilansir oleh antara.com. Kini, jumlah mata air di daerah hulu sungai kian menipis. Seperti yang ada di Sungai Brantas, dari 117 mata air, kini tersisa 53 sumber.Bahkan, saat musim kemarau, sumber air tersisa tiga. Konsumsi air yang berlebihan adalah salah satu penyebabnya. Saat ini total konsumsi air di Indonesia mencapai 26 miliar liter per tahun. Padahal, ketersediaan air yang layak minum makin sulit diperoleh.

Kebutuhan besar itu tak lepas dari jumlah penduduk yang terus meningkat. Sehingga terpaksa memangkas jatah kebutuhan air masyarakat. Di pulau jawa misalnya, ketersediaan air tinggal 1,750 m kubik perkapita pertahun. Ini berarti telah menunjukkan angka kritis air, bila dibandingkan standar kecukupan air 2,000 meterkubik perkapita pertahun. Akibatnya, akan mengancam krisis air minum di 300 Desa yang tersebar di 16 Kabupaten Jawa Timur. Kondisi ini menyebabkan terjadi rebutan air untuk minum dan irigasi persawahan.

Apalagi, semakin banyak perusahaan yang menggunakan air tanah dalam jumlah besar untuk kegiatan produksi. Seperti perusahaan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) yang mengambil air di dalam tanah untuk dikomersilkan.

Menurut Prigi Arisandi, Direktur Eksekutif Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton), krisis air juga disebabkan oleh pengelolaan wilayah hulu sungai yang tidak baik. Penebangan hutan yang dilakukan di daerah aliran sungai (DAS), mengakibatkan menurunnya kemampuan DAS untuk menyimpan air di musim kemarau.

“Sehingga air hujan yang turun tak mampu diserap tanah secara maksimal. Sebab di wilayah hulu sungai hanya tersedia sedikit tanaman atau pohon yang mampu mengikat air,” ujarnya. Jadi, ia melanjutkan,  perlu lebih banyak pohon pengikat air yyang diitanam di daerah pegunungan yang notabene wilayah pancaran sumber mata air. Tanaman pengikat air itu seperti Kemiri, Gondang, Bendo  dan Bambu. Sifatnya yang mudah tumbuh dan akarnya yang mampu mengikat air dapat meenjamin ketersediaan air di masa mendatang.

“Karena daerah atas (hulu) gundul, air jadi langsung turun ke bawah (hilir). Sehingga mengakibatkan banjir di daerah hilir. Selain itu, hilangnya tanaman dan pohon di sekitar DAS akan meenurunkan kualitas air tanah,” imbuhnya.

Sesuai siklus hidrologi, pergerakan air di alam selalu berputar. Air turun sebagai hujan, lalu sebagian masuk dalam tanah, sebagian mengalir ke sungai hingga menuju laut. Kemudian mengalami evaporasi akibat panas matahari, naik sebagai uap air, menggumpal menjadi awan dan turun sebagai hujan lagi, begitu seterusnya.

Ia menuturkan, Saat ini evaporasi tak lagi hanya terjadi di laut. 50-75 persen evaporasi malah terjadi di daerah dataran tinggi, sisanya di daerah hilir. Artinya, pasokan air ke dataran rendah (kota) semakin berkurang berkurang. (Lihat Gambar di atas)

Seolah-olah Surabaya ini sudah hebat, tapi sebenarnya mereka tidak memperhatikan hubungan masyarakat hulu dan hilir. Karena sebenarnya kita mempunyai hubungan secara ekologis dengan masyarakat hulu,” sindirnya. Seharusnya masyarakat ‘hilir(kota) menghormati warga ‘hulu(pegunungan) yang telah memelihara pohon untuk mengikat air. Karena air tersebut bakal digunakan oleh masyarakat kota.

Sehingga perlu adanya hubungan yang dijalin antara masyarakat hulu dan hilir. Hubungan tersebut dapat berbentuk kerjasama memelihara pohon pengikat air. Masyarakat kota bisa menanam pohon di daerah pegunungan yang pengelolaannya bekerjasama dengan pendudduk setempat. “Sebenarnya masyarakat pegunungan merasa tidak ada gunanya menanam pohon-pohon besar. Sehingga terpaksa mereka meenebangi pohon-pohon itu untuk dijadikan lahan perkebunan. Mereka merasa lebih untung menanam kobis, teh, atau kentang untuk dijual, yang sebenarnya tanaman tersebut tidak mampu mengikat air. Tanpa pohon besar di daerah peegunungan, bahaya besar pun mengintai masyarakat kota,” jelasnya.

Malang, Mojokerto, Jombang, Kediri, Nganjuk dan Blitar merupakan beberapa daerah hulu yang berpotensi dapat dirangkul masyarakat kota. “Kalau di Australia dan Amerika, masyarakat kota malah membayar masyarakat pegunungan untuk mengelola pohon-pohon mereka,” katanya.

Prigi menambahkan, Jika kini gencar program penanaman pohon di kota, sebenarnya hal tersebut tak begitu berpengaruh  bagi kondisi air tanah, hanya berefek pada hawa lingkungan. Sebab, tanah perkotaan mengandung air payau, sehingga akar pohon tak mampu masuk sampai ke lapisan dalam dan mengikat air, melainkan meenyebar menghindari air payau. Itu juga yang menyebabkan pohon di kota gampang tumbang.

Begitulah kondisi kawasan hulu dan hilir negeri ini. Masihkan kita akan menyia-nyiakan air? Sudahkah kita berupaya mewariskan air untuk keberlangsungan hidup anak cucu kita di masa mendatang? Ataukah kita akan mewariskan air mata?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline