Pemilu presiden dan wakil presiden tahun 2014 ini berbeda dari dua edisi sebelumnya. Perbedaan itu dimulai dari tidak adanya satu partai pun yang meraih suara mayoritas dalam pemilu legislatif 9 April. Konsekuensinya pencalonan presiden dan wakil presiden harus dilakukan dengan menempuh jalur koalisi. Capres dan Cawapres harus diusung oleh gabungan partai-partai. Gerindra, Golkar, PAN, PPP, PKS dan PBB menyodorkan nama Prabowo dan Hatta Rajasa. Sedangkan PDI Perjuangan, PKB, NasDem, Hanura dan PKPI mengusung Jokowi dan Jusuf Kalla.
Hingga batas waktu pendaftaran calon presiden dan wakil presiden yang ditentukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) berakhir, tidak ada lagi pendaftar selain dua kanddidat di atas. Hal tersebut mengunci keputusan bahwa kontestan yang akan memperebutkan kursi nomor 1 di negeri ini hanya dua pasang (Head to Head). Inilah yang membuat persaingan di antara keduanya sangat sengit dengan diiringi berbagai dampak sosial.
Mencuplik pernyataan Goenawan Mohamad, pemilu kali ini adalah pemilu yang berbeda dibandingkan pemilu-pemilu sebelumnya sepanjang masa hidupnya. Terdapat 3 fenomena unik yang hanya terjadi di pemilu saat ini.
Pertama, pertama kali dalam sejarah pemilu Indonesia lahirnya relawan-relawan -yang didominasi oleh anak muda- yang mendukung salah satu capres dan cawapres dengan sukarela. Mereka mengeluarkan tenaga, pikiran dan biaya tanpa ada ganti ruginya. Mereka memberikan dukungan dengan cara mereka sendiri. Berkicau di media sosial, membuat video testimoni, karya desain visual, menulis di berbagai media, dan macam-macam dukungan lainnya.
Kedua, dukungan seniman. Baru kali ini para seniman dengan lantang menyuarakan dukungannya kepada salah satu capres tertentu –dalam hal ini pasangan nomor urut 2 Jokowi-JK. Hanya satu alasan yang tersirat dari pekikan mereka, yaitu menginginkan tetap adanya kebebasan berekspresi dan berpendapat. Harapan itu tidak tampak pada pasangan nomor urut 1 Prabowo-Hatta. Masa lalu Prabowo yang berlumuran darah, menjadi orang yang disangka bertanggungjawab atas hilangnya aktivis ’98, hilangnya mereka yang lantang meneriakkan pendapat, menjadi alasan mudah untuk memilih lawannya –Jokowi-JK– yang menjunjung keberagaman.
Ketiga, kejamnya fitnah yang bertujuan untuk menggagalkan. Pemilu 2014 adalah ajang perang urat syaraf (Psy war). Berbagai perkataan menjatuhkan meluncur bebas dari masing-masing kubu. Yang paling kejam, ada pula fitnah-fitnah yang bertujuan untuk menjatuhkan. Hadirnya tabloid ‘Obor Rakyat’ yang sebagian besar berisi fitnah terhadap Jokowi merupakan fenomena baru keterlibatan media dalam kampanye poitik. Karena isinya yang tidak faktual, tabloid yang yang tersebar di berbagai pondok pesantren itu telah dinyakan Dewan Pers Produk Jurnalistik Haram.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H