Lihat ke Halaman Asli

Subagiyo Rachmat

◇ Menulis untuk kebaikan (titik!)

Rezim Pertumbuhan

Diperbarui: 26 Mei 2020   01:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Mengawali coretan ala warung kopi kali ini, bolehlah saya sebagai bagian dari masyarakat kebanyakan dan awam sedikit berandai-andai, jikalau sistem ekonomi pancasila sesuai amanat dan spirit kekeluargaan UUD 45 dipilih dan dijalankan dengan baik dan penuh komitmen, boleh jadi situasi akan lebih menenteramkan jiwa masyarakat karena soal rasa keadilannya itu.

Dalam pikiran bebas saya, tugas negara yang diperankan oleh pemerintah bisa lebih sebagai solidarity maker yang diejawantahkan dalam bentuk kebijakan-kebijakan ekonomi yang mampu menggerakan semua komponen masyarakat dan faktor ekonomi nasional agar terbangun sebuah ekosistem ekonomi yang memeratakan yang membangkitkan rasa kekeluargaan nasional secara berkeadilan, bahasa awamnya ada kue banyak bagi banyak, ada sedikit bagi sedikit, tentu dengan memprioritaskan juga sektor basic yang lain seperti kesehatan, pendidikan, perkembangan sosial, budaya, politik dan lainnya yang membuat kualitas hidup lebih manusiawi, termasuk pemberantasan korupsi.

Jadi tak semata perkembangan ekonomi hanya diukur dari meningkatnya GNP ( Gross National Product) per kapita atau GDP ( Gross Domestik Product) per kapita yang seolah menawan_ misalnya pertumbuhan ekonomi 6%, 7% atau 10% tanpa ada prioritas kebijakan dalam pemerataan kue ekonomi dan faktor-faktor lain tersebut di atas.

Dalam obrolan di warung-warung kopi, masyarakat kebanyakan_apalagi masyarakat bawah sepertinya tak begitu ambil pusing dengan teori-teori ekonomi dan rumus-rumus politik ekonomi njlimet yang dipakai negara dalam pengelolaan ekonomi nasional, cara berpikir masyarakat itu sederhana-mereka hanya ingin merasakan rasa keadilan atas akses sumber-sumber ekonominya.

Hal ini hanya bisa terjadi jika komitmen atas kebijakan politik ekonomi maupun ekonomi politik bisa dijalankan dengan baik sehingga bisa menyentuh dengan apa yang dirasakan oleh masyarakat kebanyakan, yaitu rasa keadilan, karena bagi masyarakat_keadilan juga adalah rasa!

Konon, 99% rakyat indonesia hanya menguasai sekitar 60% kue ekonomi nasional, dan cukup segelintir orang saja (1%) menguasai 40% kue ekonomi nasional! Belum lagi jika kita lihat Gap dari struktur gaji tertinggi dan terendah dari semua level kepegawaian baik di BUMN yg gaji per bulannya sampai ratusan juta vs masyarakat biasa yg mungkin hanya sebatas UMR bahkan kurang, bahkan ada yang relatif tidak berpenghasilan.

Saya sebenarnya sudah tak begitu tertarik dengan target-target pertumbuhan ekonomi yang kapitalistik, sudah 5 dekade kita masuk dalam pengaruh sistem ekonomi global dengan model-model ukuran kemakmuran yang disederhanakan dengan besaran global pertumbuhan ekonomi yeng ternyata tak juga membawa indonesia ke dalam pemerataan kue pembangunan yang memakmurkan rakyat_gap antara segelintir para penguasa ekonomi vs mayoritas masyarakat tak bergeming tetap begitu lebar walau negara ini dalam pertumbuhan ekonomi 7-10% sekalipun! UMKM yg menjadi menjadi mayoritas (99%) usaha di negara kita sepertinya belum menjadi prioritas kebijakan ekonomi nasional.

Rezim Pertumbuhan ekonomi_ ketika menjadi lokomotif pembangunan akan menciptakan pola instant dalam pengukuran keberhasilan strategi pembangunan ekonomi nasional_melalui pengejaran target angka global GNP per kapita  atau GDP per kapita. Itu mengapa kita tak pernah memprioritas pembangunan sektor hulu pada berbagai sektor industri termasuk pangan, tragis! Wallahu A'lam Bishawab (SR-Swasta, Tinggal di Jakarta)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline