“Jangan pernah menghubunginya lagi, karena dia tidak pernah menganggapmu sebagai temannya. Jika kau tak percaya, coba saja telpon dia dan kau tanyakan padanya apa dia pernah menganggapmu sebagai temannya? Aku yakin jawabannya pasti tidak. Jangan terlalu PD lah jadi orang, nona manis.”
Pesan itu telah puluhan kali aku baca di inbox Facebookku. Pesan yang dikirimkan kekasihmu melalui akun facebookmu yang setelah itu tak pernah bisa kukunjungi lagi. Ya, setelahnya kau (atau kekasihmu) memblokir akun milikku. Namun bukan pemblokiran itu yang sedang ada dipikiranku saat ini. Ada hal lain yang ikut melonjak-lonjak seperti ubur-ubur, berlarian keluar dari diriku. Sebuah kenangan tentangmu yang entah mengapa setiap kali aku mengingatnya dengan sukses menghangatkan mataku.
***
Sejak awal aku menganggapmu sebagai temanku, teman kakakku lebih tepatnya. Meskipun dulu saat kau sering bertandang ke rumahku, aku masih terlalu muda untuk menyadarimu. Tentu saja aku lebih terkonsentrasi dengan mainanku dari pada menajamkan mataku untuk menyadari kau ada disekitarku.
Empat tahun setelahnya, aku bertemu lagi denganmu, dalam sebuah keadaan yang sangat berbeda tentu saja. Aku telah menginjak remaja, masa pubertasku, meskipun tak pernah benar-benar aku alami secara psikis. Dan kau telah menjadi pria dewasa, sangat dewasa dari segi fisik dan pikiranmu, meskipun kau baru menginjak tingkat 12. Saat itu aku telah bisa menyadari adanya dirimu. Kuanggap kau temanku karena kau teman kakakku. Meskipun aku tahu saat itu aku hanya gadis kecil di hadapanmu.
Bertahun-tahun setelah itu tak ada kenangan spesial yang bisa dikenang tentang dirimu. Bahkan saat aku mengetahui kau berpacaran dengan wanitamu itu,pun aku tak berniat mengetahuinya. Tak terlalu penting bagiku mengurusi dirimu, pikirku.
***
Hari, bulan dan tahun berganti, pribadiku pun berganti, mungkin juga dirimu. Di suatu waktu dimana aku sedang berada dalam sebuah keadaan paling buruk dalam sejarah hidupku, kau menemukanku. Aku yang terisak di sudut gelap malam di tempat yang mungkin tak pernah terpikirkan oleh siapapun akan kujadikan tempat persembunyiannku, tempat aku bisa menjadi diriku yang rapuh, di sana aku bertemu pandang denganmu untuk pertama kalinya setelah 4 tahun berlalu setelah pertemuan terakhir kita.
Tak banyak yang kau lakukan saat itu. Sepanjang malam kau hanya duduk diam di sebelahku menemani aku yang menangis sepanjang malam. Dan anehnya aku merasa ada kehangatan saat berada di sampingmu. Hal yang tak pernah bisa aku rasakan selama ini, tak ada rasa canggung sedikitpun saat aku bersamamu. Kau memberiku sejuta kenyaman dan kesejukan, yang entah dari mana datangnya. Setelahnya kau selalu ada setiap aku membutuhkan teman untuk bersandar.
“Kita teman,” katamu sambil menyodorkan jari kelingkingmu pada suatu sore di tempat persembunyian kita .
Lucu sekali, aku sampai tertawa terbahak mendengarmu mengatakan itu, seperti bocah pikirku untuk ukuran pria dewasa sepertimu. Tapi sejenak kemudian aku terdiam, wajahmu berubah serius.
“Aku serius, kita sekarang teman, aku dan kamu.”
“Kita memang sudah jadi teman sejak dulu kak, ya aku dan kamu,” kataku sambil mengaitkan kelingkingku di kelingkngmu dan setelahnya kita tertawa bersama.
to be continue....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H