Lihat ke Halaman Asli

Suardi KacoH

Dosen di Universitas Al Asyariah Mandar

Historisitas Sila Kebangsaan Sukarno

Diperbarui: 7 Desember 2024   15:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pancasila dan Sukarno adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya mesti terus digandengkan di setiap konteks diskursus Pancasila ataupun Sukarno. Mengapa demikian? sebab Pancasila adalah karya monumental Sukarno, dan Sukarno sendiri ialah penggali atau perintis utama dan pertama hingga pada perumusan dan pengesahan Pancasila menjadi Dasar Negara Indonesia.

Sukarno disebut sebagai penggali Pancasila, sebab dialah yang menemukan Pancasila sebagai filsafat negara (philosophische grondslag), pandangan hidup (weltanschauung), dan ideologi negara. Para tokoh Bangsa lainnya, seperti Mohammad Hatta dan M. Yamin, di dalam tulisannya juga mengakui bahwa Sukarno adalah satu-satunya penggali Pancasila. Dan Sila Kebangsaan merupakan temuan pertama yang kemudian ditempatkan pada Sila Pertama dalam Pidato 1 Juni 1945 pada sidang BPUPKI dan Sila Kedua pada Kursus Pancasila 1958. 

Oleh karena itu, tulisan ini difokuskan pada Sila Kebangsaan saja. Alasannya tidak lain karena kebangsaan merupakan gagasan pertama dan “induk” dari semua rangkain sila dalam Pancasila yang digali langsung oleh Sukarno. Jadi, bagi penulis konsep kebangsaan Sukarno sangat urgen untuk dikaji dan ditulis kembali di era kini.

Selain itu, tulisan ini juga meminjam periodisasi yang dikemukakan oleh Yudi Latif dalam bukunya, “Wawasan Pancasila” (2018: 29). Di buku ini, disebutkan tiga fase yang melintasi dalam proses penggalian dan pergumulan Pancasila menjadi sebuah Dasar Negara, yaitu: fase perintisan (penggalian), fase perumusan, dan fase pengesahan.  

Fase Penggalian

Dalam buku, “Lahirnja Panjtasila” (1947: 24) disebutkan bahwa diskursus kebangsaan Sukarno pertama kali diperoleh tatkala sekolah di HBS (Hogere Burger School) di Surabaya 1916. Namun di balik "pertemuan" gagasan kebangsaan Sukarno tersebut, ia diawali sebuah proses pergulatan intelektual yang sengit antara pengaruh pemikiran kosmopolitanisme dan kebangsaan.

Perkenalan Sukarno dengan konsep kebangsaan ketika membaca buku, Dr. Sun Yat Sen, “San Min Chu I” atau “The Three People’s Principles” pada 1918. Buku inilah yang membuka pikiran Sukarno dari pengaruh paham kosmopolitanisme anti kebangsaan yang diajarkan oleh  A. Baars, seorang sosialis, pada 1917 di HBS. Kata A. Baars kepada Sukarno, “djangan berfaham kebangsaan, tetapi berfahamlah rasa kemanoesiaan sedoenia, djangan mempoenjai rasa kebangsaan sedikitpoen”.

Melalui buku Dr. Sun Yat Sen (Mantan Presiden Republik Tiongkok), Sukarno memiliki pengetahuan kebangsaan yang mumpuni sebagai kekuatan dalam mendekonstruksi pengaruh paham kosmopolitanisme yang diindoktrinasi oleh A. Baars pada dirinya. Terhadap buku Dr. Sun Yat Sen tersebut, Sukarno sangat bersyukur dan mengatakan, “…alhamdoelillah, ada orang lain jang memperingatkan saja,--ialah Dr. Sun Yat Sen! di dalam toelisannja “San Min Chu I” atau “The Three People’s Principles”, saja mendapat peladjaran jang membongkar kosmopolitanisme jang diadjarkan oleh A. Baars itoe. Dalam hati saja sedjak itoe tertanamlah rasa kebangsaan…”.

Masa ini, merupakan titik balik pergulatan pemikiran Sukarno yang mulai terpikat dengan gagasan kebangsaan. Dari sinilah, ia mulai mendalami dan mengkaji dengan tekun teori-teori kebangsaan dari berbagai ahli atau pemikir, seperti Ernest Renan, Otto Bauer, Karl Haushofer, dan sebagainya.

Perkenalan Sukarno dengan pemikiran para ahli kebangsaan di atas melalui H.O.S Tjokroaminoto, Pemimpin Sarekat Islam. Sukarno mengkaji teori kebangsaan para ahli tersebut langsung dari H.O.S Tjokroaminoto di saat Sukarno tinggal atau indekos di rumahnya. Dari H.O.S Tjokroaminoto, Sukarno tidak saja menimbah ilmu kebangsaan, melainkan juga mempelajari khasanah keilmuan Islam, sosialisme, dan demokrasi yang kala itu dominan digandrungi tokoh-tokoh pergerakan revolusi.

Spirit intelektualitas Sukarno dalam menggali gagasan kebangsaan tidak berhenti di Surabaya. Ia terus galakkan sampai ke Bandung, di saat melanjutkan studi di THS (Technische Hoge School) yang sekarang dikenal sebagai ITB (Institut Teknologi Bandung). Di Bandung, tepatnya 1925-1926, Sukarno begitu memusatkan pikirannya pada teori kebangsaan Ernest Renan dan Otto Bauer (meskipun juga terpikat teori atau ideologi islamisme dan marxisme). Terbukti dengan tulisan Sukarno yang dimuat di majalah “Indonesia Moeda” yang berjudul “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme”.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline