Lihat ke Halaman Asli

Oo Oo Bebaslah Negeriku..!

Diperbarui: 15 Juni 2016   13:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tercatat, 29/01/2015. Pertamakali tau "Karaoke-an" diculik sahabat yang stres, hehehe.

Santai mengayun lengan sambil berjalan ke arah kasir untuk mesan tempat, kuihat sahabatku dimintai uang sebesar 50 rb untuk per 1 jamnya. Tepat di depanku yang sebelumnya tak sengaja tertutup kedua tanganku ada bacaan yang ada penegas sumber dari pemerintah dipojok kiri bagian bawah kertas folio itu"Harap sopan karena pihak aparat akan terus menggeledah tiap ruangan...bla..bla...." kurang lebih seperti redaksinya. ah, sepertinya itu hanya slogan Formalitas. Mulut sudah disumbat uang, kesibukan dan keamanan diri dari pihak pemerintah sedang si pengelola sudah fokus untuk memburuh uang sebanyak banyaknya, tak peduli.

Menuju ruangan 12 aku liar saja melucuti mata menafsirkan rasa penasaran. Dan pandatanganku sempat terhenti beberapa detik dari seberang kaca ukuran folio yang menjadi celah dipintu itu, aku menyaksikan 2 perempuan dan 4 laki laki sedang asyik bergoyang dengan aksi pelukan dan ciuman. Hmm, belum lagi ada yang tak sengaja goyang jingkrak jingkrak dengan botol yang akrap dg dunia malam itu digenggamnya, Wow baju peragainya benar benar menggelitik siapapun yang melihatnya.

Pengaruh kapitalis dunia hiburan sudah benar benar menjalar dan mengakar. Peluang kebutuhan semua orang untuk mencari hiburan menjadi lancar dalam memenangkan dan memenangkan pasar kapital, maklum saat ini masyarakat kita semakin banyak yang stres, resah, bigung dan hampir putus asa dengan berbagai persoalan dan masalah yang sedang dihadapi bangsa ini dalam kolektifitas kehidupannya masing masing.

Awalnya, aku mengira karaoke hanya sebatas nyanyi biasa tidak seperti bar, diskotik, cafe dan macam nama dunia musem lumrah lainnya. Kalau boleh jujur karaoke tidak seenak nyanyi dikos dengan harga yang murah dan tidak pusing kepala akibat suaranya yang sangat keras, ya mungkin lebih lengkap saja "lagu lagu kekinian nya" aku katakan lagu kekinian karena saat aku ngecek iseng iseng lagu kebangsaan, lagu qorik dan shalawat "Not playist" alias tidak ada.

Fikiranku sudah menyamahi kalkulator saja, menghitung dan mengkalkulasi hasil. Semisal, di sekitar kampusku ada 4 tempat karaoke, di gang gang tertentu lebih dari sepuluh yang pernah kutemukan dan di jantung perkotaan sepertinya semua sepakat tak terhitung banyaknya. Artinya, berapa banyak dalam satu kota? berapa pemuda dan usia tua yang pernah ketempat karaoke khususnya? Dan ada banyak lagi pertanyaan yang bersarang dikepalaku.

Kebebasan akan hadir ketika kita butuh keuntungan dan kepuasan. Kesempatan akan datang jika kita mencoba, lalu, sudah berapa orang yang mencoba? Tentu tak terhitung banyaknya. Pengelola fokus pada keuntungan dan tentu penikmat fokus untuk memenuhi keinginannya. Wes pas....selamat membaca !!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline