Lihat ke Halaman Asli

Menjelajahi Kelenteng di Surabaya

Diperbarui: 4 Desember 2017   16:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salah satu sudut kelenteng Hong Tik Hian

Pertengahan November kemarin (2017), saya menyempatkan diri berkunjung ke dua buah kelenteng yakni Kelenteng Boen Bio serta Kelenteng Hong Tik Hian. Kegiatan ini diselenggarakan dalam memenuhi mata kuliah Ilmu Budaya Sosial Dasar (IBSD). Kami bersepakat untuk berkunjung kesana bersamaan dengan teman -- teman dengan ditemani beberapa orang dosen dari Universitas Ciputra.

Kami memutuskan berkumpul pada pagi hari kurang lebih jam sepuluh. Kami berkumpul di sebuah mall dekat Jembatan Merah. Namanya Jembatan Merah Plaza.  Jangan salah, Jembatan Merah Surabaya sendiri merupakan salah satu ikon loh. Kenapa demikian? Karena Jembatan Merah merupakan salah satu saksi sejarah perjuangan bangsa, terutama pemuda-pemuda Surabaya saat melawan kolonialisme Belanda. Salah satu unsur nama Jembatan Merah karena pernah terjadi pertumpahan darah antara pejuang dan penjajah saat melawan pasukan Sekutu yang ingin merebut kembali Surabaya, dengan tewasnya pemimpin pasukan Sekutu saat itu, A. W. S. Mallaby.

Setelah berkumpul, kami melakukan perjalanan kami sekitar kurang lebih 200 meter sampai tempat pertama. Di tempat pertama itu, kami bertemu beberapa teman kami yang langsung berkumpul disana. Disana, kami langsung berfoto untuk mendokumentasikan kegiatan kunjungan kami, meskipun ada juga teman yang takut untuk berfoto disana, karena muncul stigma takut berat jodoh.

Sangat terasa awalnya bau dupa yang sangat menyengat di Kuil Hong Tik Hian ini. Konon,  menurut sebuah kertas doa,  kuil Tridharma ini sudah dibangun sejak 500 tahun sebelum tahun 1899. Artinya sudah dari sekitar tahun 1399 dan sudah berdiri lebih dari 6 abad. 

Tahun 1899 baru dilakukan pemugaran oleh para simpatisan Kuil Hong Tik Hian ini, sesuai dengan batu memoar yang memuat keterangan  di bagian dinding altar utama belakang " Saat ini setelah pemugaran tahun 1983, setelah kebakaran bangunan utama, marmer peringatan di tempel di dinding sebelah kiri atau dinding sebelah altar "Kong Co Boen Chiang Tee Koen".

Dok. Pribadi.

Disebutkan juga, dari arsip yang saya lihat mengenai kuil ini, pada pemugaran tahun 1899 bahwa ada 5 lantai di bawah bangunan utama, yang mengungkapkan bahwa Kuil ini sudah ada sekitar 500 tahun (1399), dan pemugaran dilakukan setiap 100 tahun, seperti yang tercantum pada kertas doa.

Pada tahun 1949, akibat Perang Dunia II pada tahun 1940 sampai 1945, juga karena pergolakan Indonesia -- Hindia Belanda tahun 1945 sampai 1949, kelentang ini banyak ditinggalkan dan tidak terurus dan tidak sempat diurusi lagi oleh pengurus saat itu. Maka, pada tahun 1949, bersama dengan para umat serta simpatisan Kuil Hong Tik Hian, dipimpin oleh Bapak Ong Kie Tjai, maka membentuk suatu panitia pembangunan/pemugaran kelenteng juga diadakan perayaan HUT  ke 50 dari pemugaran tahun 1899, maka dilakukan acara sebagai berikut :

  • Upacara Keagamaan secara besar -- besaran
  • Kirab / arak -- arakan Kiem Sien Dewa Kong Tik Coen Ong keliling kota untuk Tolak Bala dan memberi berkah.
  • Gelar Seni Budaya Agama, pertunjukan berhubungan dan bernuansa keagamaan

Setelah itu, panitia pemugaran dibubarkan serta bersamaan dengan itu dibuat suatu Badan Pengurus bernama Hong Tik Sian King Sin Sia tahun 1949 dan terdaftar di Komtabes 101 Surabaya.

Pengurus kelenteng bercerita tentang sejarah Klenteng Tridharma ini.

Saat memasuki kelenteng Hong Tik Hian, yang didominasi oleh warna merah,  saya langsung memasuki ruang Hio Lo, dimana ruangan itu berfungsi sebagai  tempat melakukan ritual  pembakaran Hio (semacam media untuk mengiringi doa- doa, dengan dibakar pada ujungnya, dan ditempatkan suatu tempat kotak yang berisi abu hio -- hio lain yang sudah terlebih dahulu dibakar disana) untuk berdoa dan menghormati arwah leluhur.  Disana, tempatnya cukup besar untuk  dimasuki 50 orang. 

Lampu yang tidak begitu terang menyebabkan nuansa ruangan menjadi  temaram, yang memungkinkan orang khusyuk berdoa. Setelah dari ruangan tersebut, kita berpindah ke bangunan di depannya, dimana terdapat suatu panggung kecil. Tapi, kita melanjutkan perjalanan ke ruangan sebelah atas. Disana, kami berkumpul dan mendengarkan cerita dari bapak pengurus kuil Tridharma tersebut. Beliau membawa pembicaraan ke arah pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan, terutama di Indonesia. 

Kita harus bersyukur bahwa kita memiliki Pancasila, yang menjadi  adiliuhung ideologi di Indonesia. Menurut beliau, tempat ibadah itu harus bersifat universal, tidak terbatas dengan sekat -- sekat kehidupan. Manusia juga akan mengalami 4 penderitaan, yakni lahir, tua, mati dan meninggal, dan menju pada kedamaian.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline