[caption id="attachment_88081" align="alignright" width="280" caption="Tribun Jambi/Hendri Dunan"][/caption] SUDAH lama aku tak bertemu kelompk orang rimba (Suku anak dalam). Mungkin sudah sekitar tiga bulan. Aku biasanya bertemu dengan mereka saat melaksanakan tugas (liputan) ke daerah terpencil di sekitar kawasan tanam nasional bukit dua belas, di Kabupaten Batanghari, Jambi
Beberapa kali juga aku bertemu dengan mereka saat datang mengemis ke Kota Muara Bulian (Ibukota Kabupaten Batanghari). Mereka datang secara berkelompok, setidaknya 10 orang, baik yang masih balita hingga yang usianya sudah diatas 40 tahun.
Namun sebuah pemandangan mengagetkanku, Minggu (6/2/10). Saat itu aku sedang berada di Kota Jambi menghadiri acara pernikahan teman. Dalam perjalanan pulang ke rumah, di sebuah persimpangan lampu merah, kulihat beberapa orang yang duduk dan baring-baring di dekat persimpangan itu.
Ada (mungkin 3 orang) anak-anak yang sedang berkejar-kejaran tanpa menggunakan baju. Kulitnya sawo matang. Rambutnya terlihat kurang rapi, lebih tepatnya acak-acakan. Celana yang digunakannya juga sudah lusuh nan kotor.
Didekatnya ada beberapa orang lagi yang sudah dewasa. Mereka duduk di atas tanah sambil menikmati nasi bungkus secara bersama-sama. Satu bungkus dimakan tiga orang. Kuamati terus mereka dari jarak sekitar 10 meter. Aku mendengarkan bahasa mereka, dan kuyakini mereka adalah orang rimba.
“Apo kabar sanak,” tanyaku kepada seorang pria yang umurnya sektar 30 tahun. Kuletakkan sebungkus rokok didekatnya. “Merokok sanak,” ucapku lagi sembari meletakkan korek api gas di dekat rokok itu.
Bagi yang mengerti dengan tradisi dan kesukaan mereka, tidak akan mengalami kesulitan dalam berkomunikasi. Lelaki orang rimba terkenal sebagai penikmat rokok. Mereka tidak pilih rokok, apapun mereknya, selama mengeluarkan asap, mereka akan menyukainya. “Trimakasi sanak,” katanya.
Ia menceritakan mereka sampai di Kota Jambi Minggu pagi dengan menumpangi sebuah mobil truk. “Dari bukit dua belas,” ucapnya saat ditanyakan asalnya. Dari tempat bermukimnya di tanam nasional itu, mereka berjalan kaki hingga tiga hari sebelum akhirnya mendapatkan tumpangan.
Mereka bernasib baik, bertemu dengan supir truk yang berbaik hati memberikan tumpangan. Sekedar untuk diketahui, sangat jarang yang mau memberikan tumpangan kepada kelompok marginal itu.
Kisah-kisah kesulitan mendapatkan makanan di dalam hutan diungkapkannya padaku. Kisah itu sebenarnya kisah yang selama ini sudah sangat sering kudengar dari mulut mereka, termasuk dari temenggung (pemimpin kelompok orang rimba). “Kami kelaparan di rimbo,” ucapnya.
Mereka sedang melangun (berpindah tempat bermukim karena ada yang meninggal atau bencana). Lokasi melangun dipilih di kota karena di dalam hutan sudah semakin sedikit areal yang bisa mereka jelajahi. Di tempat yang sedikit itu pun, makanan semakin menipis. “Buruan juga tak ada lagi,” katanya.
Selama ini, hutan yang menjadi rumah idaman bagi kelompok itu sudah habis dibabat oleh warga desa dan pengusaha. Hutan dikonversi menjadi kebun sawit atau kebun karet. Lebih parah lagi, pemerintah seperti tidak berkutik menekan laju pertumbuhan kerusakan hutan.
Pria itu bernama Legat. Ia adalah pria yang polos dan tak paham arti ekonomi dan politik. “Kami ingin bertemu rajo, tapi dak ado,” ucapnya. Rajo (Raja) yang dimaksudnya ada gubernur. Ia dan teman-temannya ingin minta makanan kepada Gubernur. (Suang Sitanggang)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H