Dirangkum oleh Moderator: Sadhu Giriramananda, pada Lokakarya Nasional yang Digelar di Gedung PHDI Bali, Sabtu 7 Maret 2020Metode Pengabenan Shiva Sumedang atau Shiva yang gaib- adalah salah satu dari 12 metode pengabenan tradisional Bali, mengacu dan mengadopsi "Lontar Lontar Local Genius Bali" yang tersurat. Pilihan pengabenan Shiva Sumedang di zaman now ini , sejatinya bisa dikatakan keputusan bijaksana, di tengah pengaruh kaum milineal , era 4.0 gen Z yang mereka itu punya "nafas" mindset, kecendrungan menuntut laku serba praktis, efektif dan efisien. Atas tuntutan zaman itu, ada suatu motivasi dan kreasi melakukan suatu langkah cerdas (out of box) dengan mengulik dan berjalan sesuai landasan kitab/sastra kuno Bali. Intinya tetap berlandaskan plutuk basic yadnya, dengan tanpa mengurangi esensi, hakekat mekanisme tatanan local genius Bali yang sudah diaplikasikan menjadi tradisi secara turun temurun itu.
Terkait skema Pengabenan secara umum diuraikan: Ngaben Sawa Prateka swargane kelod, sane Ngaben Nyawa Wedana kauh swargane, sane Ngaben Pranawa, kaja swargane, Ngaben Swasta, kangin swargane, kemudian Rcadana Pitra Yadnya, Pitra Shiva Sumedang, ditengah swargane. Justru pengabenan ne alit swargane nembus Linggih Shyang Hyang Shiva" demikian disebut mengacu skema pengabenan. Ada, juga anggapan semakin kecil (kanista), unsur kelalaiannya semakin sedikit , namun terkait hasilnya diyakini juga bagus. Karena itu, sejatinen "Nak aluh" megama di Bali, banyak audiensi koor merespons, "Ne keweh nto gumanti gengsi ajak belog,"
Menguak jenis Pangabenan selain Shiva Sumedang, yang dilakukan secara ngelanus (sehari tuntas) sejatinya masih ada 11 jenis pengabenan lainnya jika mengacu pada Buku Kumpulan Weda Puja Pitra Shiva (Dinas Kebudayaan Bali 2001). Pengabenan lainnya itu yakni : 1. Sawa Prateka, 2. Sawa Wedhana, 3. Pranawa, 4. Swastha, 5. Pitra Puja, 6. Sawatandangmantri, 7. Utamaning atau Madyaning Mapranawa, 8. Supta Pranawa, 9. Swastya Bya, 10. Swasta Geni, 11. Pitra Tarpana. Lalu bagaimanakah hakekat Pengabenan Shiva Sumedang itu?
Pelaksanaan Pengabenan Shiva Sumedang khususnya meniti tatanan prosesi Pengabenan jalan (pemargi) Shiva yang gaib. Sumedang maknanya adalah gaib, niskala. Intinya, pola pengabenan Shiva Sumedang itu dilakukan secara ngelanus - artinya sehari selesai bahkan bisa dituntaskan (puput 7 jam). Mengacu isi lontarnya sebagai berikut : "Kramaning atiwa tiwa , nistanya upakara anglanus sane maupakara pramangke. Nista, madhya , uttama pemalakunya. Kramanya, tat pawadah , tan patulangan, tan padamar kurung. Ringkes juga sawa ika. Upakaranya mabanten teben, mabebangkit 1, gelar sanga 1, kewala saji muah nasi angkep satakep muang pacaruan. Swarganya ring tengah, kawahnya weci desa, pengadang adangnya sang bhuta anggasakti, cikrabalanya watek danuja, widyadharinya sang suparni,wikinya Nilaruci, Dewanya Sang Hyang Shiva, wewalennya gambang, pamuputne ring seme. Tirtanya amertha sanjiwani, Shiva Sumedang upakara iki"
Artinya: Tata sara upacaranya adalah sangat sederhana, prosesi upacaranya "ngelanus" yang diupacarai dalam sehari sekaligus. Selesai dengan menggunakan tirta pangentas, dengan ketentuan sederhana, menengah, dan utama sesuai dengan yang dikehendaki. Caranya tidak memakai wadah, tidak memakai perabuan, tidak memakai damar kurung, namun melakukan upacara pengeringkesan terhadap mayat. Upakaranya, menggunakan banten teben, menggunakan seperangkat banten pebangkit, demikian juga seperangkat banten gelar sanga, menggunakan nasi angkeb dan saji seperangkat, beserta caru seperangkat. Sorganya di tengah, nerakanya kotoran. Penghalangnya buta anggasaki, laskarnya para danuja, bidadarinya suparni, pendetanya Nilaruci, dewanya Sang Hyang Shiva. Walinya gambang. Tempat upacaranya di kuburan. Air sucinya Amerta Sanjiwani. Itulah upacara Shiva Sumedang"
Proses pelaksanaanya, persiapan ngeringkesnya dihelat di rumah, namun prosesi badan wadagnya beserta ngaben dilakukan di setra - menyucikan jiwa dari segala papa, klesa menjadi atma yang murni kembali ke Sangkan Paraning Dumadi yang sebelumnya dilakukan ngeroras di Segara yang ada Gunungnya. Memang dipilih tempat suci antara segara dan gunung ada pada posisi menyatu. Seperti di Pura Goa Lawah atau Pura Uluwatu. Setelah ritual Nyegara Gunung itu tuntas, selanjutnya balik ke rumah genah sang lampus, di sana dilakukan ritual Ngelinggihang di Rong Tiga, Merajan genah rumah sang lampus, menjadi Dewa Pitara. Nah.. demikian dirangkum "Semiloka Nasional - Seminar dan Loka Karya Shiva Sumedang , Sebuah Pilihan Bagi Umat Hindu" digelar Yayasan VPA Pusat, bekerjasama dengan Swargashanti dan juga Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI ) Provinsi Bali. Hadir pada seminar itu 285 peserta dari Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Lombok, Jawa, 212 , Hotri, Pinandita dan termasuk 73 Sulinggih / Pandita Agni. Tampil sebagai Pembicaara Dharma Adyaksa PHDI Pusat , Ratu Pedanda Nabe Bang Buruan Manuaba, Ida Pandita Nabe Mpu Abra Baskara Mukti Biru Daksa, Ketua Sabha Walaka PHDI Bali Dr Made Suasti Puja, SE, M. Fil H, Hadir memberikan dharmawacana suci Ketua PHDI Bali Prof Dr . IGN Sudiana, M. Si, President World Hindu Parisad Dr Mangku Pastika dan Penangjawab Acara Ida Pandita Nabe Sri Bhagawan Agni Yogananda. Semiloka ini dimoderatori Acharya Swi Rarendra Mahadharma (sesi pertama seminar) dan Sadhu Giriramananda (Sesi II Lokakarya)
Pilihan Bijak
Penanggungjawab acara Ida Sri Bagawan Nabe Agni Yogananda, mengungkapkan perasaanya sangat bahagia, lebih lebih bertepatan Hari Pawetuannya / otonannya. Dengan redah hati ia mengatakan kepada segenap hadirin yang sangat dihormati sebagai jiwa jiwa mulia dan penuh vibrasi cinta kasih. Menurutnya, Semiloka Pitra Yadnya dengan sub tema Shiva Sumedang ini, sebuah pilihan sangat bijak bagi umat Hindu di zaman now. Tema yang diangkat dalam semiloka ini bukan saja menantang bahkan sangat merangsang. Sehinga peserta dari berbagai daerah ikut berpartisipasi. Di antara jenis jenis yadnya, Pengebenan Shiva Sumedang ini sebetulnya ritual yang sudah dilakukan sejak zaman Purba. Namun dalam aplikasinya warga sering mengalami kebingungan menempuh pilihan jenis serta rujukan referensi petunjuk pegelarannya, sehingga pilihan terakhir minta petunjuk balian. Relatif banyak mengabaikan kitab suci/ sastra secara murni sebagai pedoman dominan. Nah kemudian hasilnya lain kata balian, lain pula bawos pewisiknya. Maka parahnya kemudian bukan tidak mungkin akhirnya ngaben itu bisa diulang. Agar tidak muncul kejadian seperti itu, kalau tidak punya sradha / keyakinan mau tidak mau dituntut lebih bijak mempelajari kitab suci, sastra atau tatwa dari Pengabenan itu.
Namun di sisi lain ada fenomena penyelenggaran pitra yadnya ngaben itu dengan stigma "ngabehin" . Karena itu tidak salah hal itu justru menjadi suatu beban pihak pihak yang tidak memiliki dana memadai.
Dari pelaksanaanya prosesi ngaben itu dikelompokkan menjadi 9 macam yakni: nistaning kanista, nistaning madya, nistaning utama, madyaning kanista, madyaning madya, madyaning utama, utamaning kanista, utamaning madya lan utamaning utama.
"Sesungguhnya yang mana saja dipilih, tidak ada yang salah. Terpenting sesuai dengan sradawan labate jnana - srada dan melalui pengetahuan itu menjadi keyakinan yang teguh," tambahnya
Akan halnya prosesi Shiva Sumedang itu efektif , teknis nya dilakukan di zaman now, substansi dan mekanismenya, ada prosesi pemisahan stula sarira dan suksma sarira, sekaligus sambil menunggu pengabenan sesi atma/ ngeroras jalan terus. Kemudian Puspalingga dan Sange diprosesi di segara , dengan desain tempat yang ada, nyegara gunung nya , selanjutnya Ngelinggihang Dewa Pitara di Rong Telu Mrajan. Karena itu tidak aneh , jika durasi waktu yang diperlukan dari prosesi Shiva Sumedang itu bisa sehari tuntas.
Semoga Jadi Bhisama
Prof Dr I Gusti Ngurah Sudiana, M.Si, selaku Ketua PHDI Bali saat itu, mendukung penuh semiloka nasional Shiva Sumedang ini. Bahkan, hasil semiloka itu diharapkan bisa dikumpulkan, kemudian dipakai bahan dalam pesamuan nasional PHDI Pusat nantinya. "Nanti bisa dibawa ke pesamuan agung. Semoga bisa menjadi bhisama terkait pitrayadnya yang efektif dan efisien," harap Rektor Universitas Hindu Negeri IGB Sugriwa itu.
Prof Dr IGN Sudiana, juga menegaskan dirinya secara pribadi sering turun terlibat pengabenan massal. Seperti di Muncan, PHDI bekerjasama dengan Telkomsel. Di masyarakat masih ada masalah berbagai hal pada umat, sebab ada hingga 7 keturunan belum diprosesi ngaben. Menurut , Yama Tatwa jika kurang setahun tidak diaben, nanti berpotensi menjadi bute cuil. Pengabenan Shiva Sumedang yang dilakukan secara ngelanus alias selesai sehari ini sangat bagus. Karena itu Seminar Lokakarya Nasional ini sangat strategis dan bijak sebagai salah satu pilihan ngaben. " Sebetulnya banyak ada pilihan ngaben, manut eka struti binacara" Upacara Ngaben di Jawa, Kalimantan, Sulawesi satu jenis saja ada yang disebut Tiwah, Turan turan, Nyewu. Memang pilihan model pengabenan di Bali banyak ragamnya. "Namun semua jenis pengabenan itu sah - sah saja" tegas Prof IGN Sudiana. Yang terpenting substansi upacara itu dilakukan dengan hati tulus las carhya dengan penuh sradha . "Karena itu rumuskan dengan baik prosesi Ngaben Shiva Sumedang ini," pinta IGN Sudiana menekankan.
Solusi Bijaksana