Lihat ke Halaman Asli

I Wayan Gede Suacana

Penulis, Pemerhati Sosial, Peminat Yoga Asana dan Meditasi

Politik Berlandaskan Etika dan Moralitas

Diperbarui: 10 Januari 2025   20:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi keseimbangan politik dan etika. Sumber: Indopos.co.id

MAHATMA Gandhi menyatakan salah satu dari tujuh dosa sosial yang menjadi penyebab merosotnya kualitas kehidupan masyarakat ialah penyelenggaraan kehidupan politik tanpa dilandasi oleh prinsip dasar (politics without principles). Kehidupan politik lebih banyak berisi permainan uang, kata dan perebutan kuasa sebagai gejala infantilisme yang jauh dari dunia pikir, refleksi dan kontemplasi.

Citra Politik

Pemikiran bahwa politik itu kotor, akal-akalan, tipu muslihat, licik, serta kejam  dalam mencapai suatu tujuan, hingga kini masih dianut oleh sebagian orang. Politik dan tentu saja para politikusnya, seringkali didentikkan dengan wilayah pragmatisme dan oportunisme yang lebih mengutamakan kepentingan sendiri atau golongan dalam merebut dan mempertahankan kekuasaan. Untuk mencapai tujuan itu dapat dihalalkan segala cara.

Pandangan yang banyak diilhami oleh pemikiran filsuf, diplomat dan politikus asal Italia Nicollo Machiavelli   ini, beranggapan tujuan utama dalam berpolitik adalah mengamankan kekuasaan yang sudah dipegang. Politik dan moralitas bagi kaum Machiavellian merupakan dua bidang yang terpisah dan tidak ada hubungan satu dengan yang lain. Kekuasaan bagi mereka bersifat sekuler yang tak memiliki kaitan dengan dunia spiritual.

Dalam praktik kehidupan politik di negeri ini, politisi  tampaknya memahami hakikat politik secara sempit dan konservatif. Politik dimengerti terbatas pada cara bagaimana seorang politikus atau parpol dapat memenangkan pemilu, meraih kursi atau posisi di legislatif dan eksekutif,  kemudian melanggengkannya sehingga memperoleh posisi "terhormat" dalam masyarakat. Disamping itu, terjun ke "dunia" politik dianggap menjanjikan penghasilan besar lewat jalan pintas, tanpa  syarat pendidikan tinggi. Hanya sebagian kecil saja dari mereka yang memandang politik sebagai salah satu cara untuk menata kehidupan negara agar terwujud kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran rakyat.

Kebanyakan politisi masih dikuasai hasrat berkuasa ketimbang sebagai "penyambung lidah" dan penyalur aspirasi rakyat. Tanpa ada beban moral sedikit pun, mereka kerap melupakan begitu saja  janji-janji kampanyenya setelah mereka berkuasa. Pada titik inilah, masyarakat dibuat kecewa, sinis dan skeptis dengan  politik. Dalam khasanah ketatanegaraan, kondisi ini menghambat munculnya pemimpin ideal yang sesuai harapan rakyat. Pemimpin dari kalangan politisi yang dihasilkan belum mampu  memberikan pengayoman, ketenangan dan panutan bagi rakyat karena lebih banyak mengurus kepentingan partai daripada memikirkan alternatif kebijakan publik. Isu-isu krusial seputar kebutuhan pokok (basic needs), seperti: pangan, perumahan, pendidikan, dan kesehatan belum banyak disentuh dan dimasukkan dalam agenda kebijakan.

Begitu pula, dialog dari hati ke hati secara intensif dalam memformulasikan kebijakan, baik  antara sesama politisi atau parpol nyaris tidak berjalan mulus, kecuali ada kesamaan kepentingan temporer yang lebih besar. Kondisi "anomali" ini mengandung resiko yang oleh Erich Fromm disebut gejala konflik laten di bawah kedok kebersamaan. Hal ini praktis telah menggeser sendi-sendi toleransi dan kebersamaan dalam kehidupan  politik. Lawan politik dilihat sebagai segmen yang terpisah, bukan sebagai kesatuan yang utuh lagi. Cara pandang ini mengakibatkan makin hidupnya sistem persaingan tak sehat antar caleg atau parpol dan semakin memudarkan kesediaan untuk dapat saling menerima.

Ilustrasi politisi dan etika politik.Sumber: kompasiana.com 

Etika dan Moralitas

Dalam kondisi seperti itu, prinsip-prinsip etika dan moral menjadi terabaikan. Giovanni Sartori pernah mengemukakan tiga tindakan politik negatif yang paling mutakhir. Berturut-turut adalah hilangnya etika--khususnya etika pelayanan bagi rakyat, terlalu banyaknya uang yang menggoda para penguasa dan terlalu mahalnya biaya politik hingga proses politik kian sulit dikendalikan. Sangat disayangkan bahwa para pelajar yang murni, lembut dan baik diresahkan, dicemaskan dan dirusak oleh beberapa pemimpin politik untuk mencapai tujuan-tujuan egois mereka. Politik itu sendiri baik, tetapi tidak baik untuk para pelajar. Kehidupan politik lebih baik diikuti setelah para pelajar tamat sekolah.

Oleh karena itu, seseorang yang akan berkecimpung di dalam kehidupan politik perlu menetapkan prinsip-prinsip dasar sebagai nilai ideal yang selalu disertakan dalam menetapkan cita-cita, memilih strategi, membuat keputusan dan dalam mengambil tindakan-tindakan nyata untuk kemajuan bersama. Prinsip dasar tersebut akan menumbuhkan dimensi etika dan moral pada pelaksanaan tugas dan kewajiban kepada masyarakat, bangsa dan negara dengan memberikan apa yang terbaik untuk kesejahteraan masyarakat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline