Meditasi semakin diakui kontribusinya terhadap kesehatan mental — hak asasi manusia yang fundamental — dan keselarasannya dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan menekankan kesehatan dan kesejahteraan sebagai hal yang utama untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Sasaran 3, " Kesehatan dan Kesejahteraan yang Baik ," bertujuan untuk memastikan kehidupan yang sehat dan meningkatkan kesejahteraan bagi semua orang di segala usia, dengan mengatasi tantangan utama seperti kesehatan ibu dan anak, penyakit menular dan tidak menular, serta akses terhadap obat-obatan dan vaksin yang penting. Sasaran ini juga menyoroti pentingnya kesehatan mental, cakupan kesehatan universal, dan pengurangan kesenjangan kesehatan untuk membangun masyarakat yang tangguh dan inklusif.
Dengan meditasi seseorang senantiasa dilatih berkonsentrasi (avadhana) agar bisa menetapkan perhatian ke suatu hal (ekagatha). Begitu pula, praktik meditasi membantu mengoordinasikan tubuh dan pikiran kita menjadi lebih efektif, sehingga ia akan bisa menjaga keseimbangan mental dan mencapai ketenangan yang mendalam.
Meditasi telah dikenal di India sejak lebih dari 7000 tahun yang lalu dan terus berkembang serta diprakti
kkan oleh sebagian masyarakat sampai saat sekarang. Meditasi telah tercatat dalam sejarah umat manusia sebagai salah satu cara untuk meningkatkan ketenangan, ketenteraman, kedamaian, kesucian dan kebahagiaan dalam kehidupan. Buku paling tua yang menerangkan meditasi adalah Yoga Sutra karya Patanjali. Buku ini cukup besar pengaruhnya terhadap penerbitan buku-buku meditasi berikutnya. Selain Yoga Sutra, buku yang cukup tua usianya dan banyak membahas meditasi adalah Srimad Bagavatam karya Bhagavan Vyasa, khususnya dalam skanda XI, sloka 32-46.Namun belakangan ini makin banyak terdapat berbagai ulasan yang berusaha mengilmiahkan praktik meditasi agar dapat diterima oleh lapisan masyarakat yang makin kritis dan rasional. Upaya ini bisa dikatakan sedikit tertunda, karena banyak dipengaruhi oleh ketidaktahuan masyarakat tentang meditasi dan adanya prasangka yang beraneka ragam. Kalangan cerdik pandai umumnya kurang mengetahui kekayaan yang terkandung dalam meditasi, sehingga sedikit sekali yang kemudian tertarik untuk menyelidikinya. Disamping itu adanya hubungan yang erat antara meditasi dengan agama tertentu juga membuat para cerdik pandai sukar menerimanya sebagai suatu bahan penelitian karena dianggap tidak ilmiah. Padahal, Tart pernah mernyatakan bahwa sebenarnya meditasi dapat dipelajari tanpa orientasi religius dan tidak perlu dihubungkan dengan pengalaman mistik tertentu.
Meditasi sendiri , menurut Udupa dapat dikategorikan sebagai ilmu pengetahuan tradisional yang dapat membantu seseorang mengkoordinasikan tubuh dan pikirannya menjadi lebih efektif, sehingga memungkinkan orang tersebut untuk menjaga keseimbangan mental dan mencapai ketenangan yang mendalam. Meditasi juga dapat dipergunakan sebagai tindakan prepentif dan kuratif dalam mengelola berbagai gangguan fisik dan psikis.
Dalam buku Yoga Sutra Patanjali Bab III Sutra 2 disebutkan meditasi adalah: Tatra pratyiyakatanata dhyanam (aliran pikiran yang tidak putus-putusnya terhadap obyek konsentrai) dari Astangga Yoga (delapan bagian yoga sebagai disiplin praktis guna membantu membebaskan orang dari kebodohan, ikatan jasmani dan rohani, stress, dan beban hidup lainnya sehingga ia mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan). Di sepanjang sejarah umat manusia tidak banyak orang yang secara terus-menerus mengusahakan dan mempertahankan pikirannya menerobos masuk ke alam “kesadaran supra” untuk menyadari keagungan dan kekuatan-Nya. Dan lebih sedikit lagi jumlah mereka yang menyadari “sang diri” yang sesungguhnya. Kebanyakan kita berputar-putar pada lapisan-lapisan pikiran (kosa) permukaan, diombang-ambingkan keinginan, kesenangan, kebodohan dan kebingungan.
Yoga Ramacharaka dalam bukunya Raja Yoga menjelaskan bahwa untuk mengembangkan kesadaran dan pengertian tentang “sang diri”, setiap orang harus menyadari “pribadi” sebenarnya sehingga kesadaran menjadi bagian hidup sehari-hari, dan merupakan sumber dari pikiran dan tindakannya. Manusia mempunyai seperangkat sifat mental yang tidak dimiliki oleh binatang yang bersifat rendah, serta masih terdapat daya kemauan yaitu daya dari “sang diri” yang merupakan daya yang diterima dari Tuhan Yang Maha Pengasih. Dengan demikian apabila kita renungkan lebih mendalam, terbayang bahwa dalam rohani manusia terdapat sesuatu yang tidak berubah. Pada waktu kita dilahirkan menjadi anak, menjadi dewasa, tua dan mati, terpikir bahwa ada sesuatu dalam diri yang tidak berubah, mandiri, jujur, adil, suci dan langgeng atau abadi. Inilah yang dinamakan “jati diri” atau atman. Untuk menemukan “jati diri” atau “sang diri” inilah sebenarnya seseorang perlu melakukan meditasi.
Disamping itu, melalui meditasi, seperti digambarkan oleh Svami Vivekananda, pikiran kita diarahkan hanya pada satu obyek, berpegang diri pada tempat khusus yang satu, seperti puncak kepala (sahasrara cakra), hati (anahata cakra), cahaya (jyotir) dan lain sebagainya. Apabila pikiran sudah berhasil menerima segala sensasi hanya melalui bagian itu saja dari tubuh dan tidak melalui bagian lain, maka itu disebut sebagai dharana atau lebih dikenal dengan istilah konsentrasi. Selanjutnya bila pikiran berhasil menangkap hal tersebut dalam waktu yang lebih lama lagi, keadaan itu dikenal sebagai dhyana atau dengan istilah lainnya dikenal sebagai meditasi. Jadi, meditasi adalah sebuah proses yang terjadi di tempat yang melampaui wilayah indera. Diantara konsentrasi yang terjadi pada lapis indera dan meditasi di tempat yang melampaui wilayah indera, terdapatlah garis batas dimana terdapat kontemplasi yang sering disebut chinthana. Sedangkan tahapan samadhi, merupakan tahapan yang dialami setelah meditasi. Didalam tahapan ini, seseorang telah kehilangan kesadaran fisik dan menuju pada tahap penyatuan kesadaran spiritual dengan kesadaran Tuhan yang merupakan sumber kedamaian dan kebahagiaan yang hakiki.
Selama proses meditasi, pikiran senantisa diarahkan secara langsung ke dalam diri dengan menutup semua organ-organ sensorik dari segala stimuli dunia luar. Pada keadaan biasa dan dalam keadaan sadar, individu menggunakan organ-organ sensoriknya secara bebas seperti melihat gambar, melihat alam sekitar, makan enak, mendengarkan musik, mencium aroma di sekitarnya dan lain sebagainya. Organ-organ sensorik ini secara terus-menerus menstimuli otak, sehingga menghasilkan berbagai respons dalam jarak psikosomatik tubuh, tergantung pada keadaan stimuli dari luar.