Sampai dengan saat ini persoalan kompleks partikularisme dan mal-administrasi masih membelit birokrasi kita, tidak terkecuali aparatur pemerintah daerah. Kasus indisipliner dan semakin merosotnya tingkat kinerja aparatur pemerintah yang mendapat sorotan belakangan ini mengindikasikan masih besarnya tantangan bagi pewujudan birokrasi yang sehat dan profesional. Padahal, idealnya aparatur pemerintah diharapkan dapat menjadi abdi negara, pelayan dan teladan masyarakat. Lalu, dalam kondisi demikian, masih adakah peluang untuk membenahi dan mengembangkan kinerja aparatur pemerintah daerah ?
Proses reformasi dalam birokrasi pemerintah sampai dengan saat ini tampaknya belum banyak menghasilkan perubahan berarti dalam tataran birokrasi pemerintah baik di pusat maupun daerah. Masih lemahnya kinerja yang disertai praktik partikularisme, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme tetap berlanjut bahkan semakin menggurita hingga ke pelosok daerah-daerah. Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) misalnya, menunjukkan dari 153 kasus korupsi yang menjadi sorotan publik dan telah mengakibatkan kerugian negara mencapai kisaran Rp. 20 triliun, 67 % pelakunya adalah pihak eksekutif daerah.
Begitu pula perilaku sejumlah aparatur pemerintah yang tidak disiplin kerap menuai sorotan tajam dari masyarakat. Apabila hal ini dibiarkan sudah tentu akan merusak citra dan kinerja birokrasi, dan sekaligus ikut menyeret bangsa ini ke dalam krisis mental yang berkepanjangan. Apatur pemerintah yang semestinya menjadi agen pelayanan publik dan abdi negara malahan sering merugikan bahkan menjadi beban bagi masyarakat dan negara.
Fenomena Puncak Gunung Es
Berbagai keluhan dan kritikan mengenai kinerja birokrasi bukan merupakan hal baru, tapi memang sudah ada sejak dulu. Sorotan terhadap kinerja aparatur pemerintah yang seringkali mengemuka, hanyalah merupakan sebagian kecil saja dari fenomena “puncak gunung es” persoalan birokrasi pemerintah yang sesungguhnya. Apabila ditelusuri lebih jauh, kemerosotan kinerja aparatur pemerintah yang menjadikan kondisi birokrasi tidak efisien adalah terletak pada struktur, sistem, prosedur dan perilaku para birokrat yang diidentifikasi oleh SP Siagian bersumber pada beberapa masalah utama, yaitu:
Pertama, persepsi dan gaya manajerial para pejabat di lingkungan birokrasi yang menyimpang dari prinsip-prinsip demokrasi, yang mengakibatkan bentuk patologi dan maladministrasi, seperti: penyalahgunaan wewenang dan jabatan, menerima sogok, dan nepotisme. Kedua, rendahnya pengetahuan dan keterampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional, mengakibatkan produktivitas dan mutu pelayanan yang rendah, serta pegawai sering berbuat kesalahan. Ketiga, tindakan pejabat yang melanggar hukum, dengan ‘penggemukan’ pembiayaan, menerima sogok, korupsi dan sebagainya. Hal ini karena birokrasi jauh dari masyarakat dan cenderung menghindari kontrol masyarakat dan legislatif. Keempat, manifestasi prilaku birokrat yang bersifat disfungsional atau negatif, seperti: sewenang-wenang, pura-pura sibuk, meninggalkan kantor pada saat jam kerja dan diskriminatif. Kelima, akibat situasi internal berbagai instansi pemerintahan yang berakibat negatif terhadap birokrasi, seperti: imbalan dan kondisi kerja yang kurang memadai, ketiadaan deskripsi dan indikator kerja, sistem kontrol internal birokrasi yang sangat berlebihan dan sistem pilih kasih (spoils system) terutama dalam formasi dan mutasi pegawai yang belakangan kerap melibatkan campur tangan tim sukses pejabat birokrat terpilih.
Dalam kondisi seperti itu, birokrasi pemerintah akan sangat mengabaikan fungsi terpentingnya, yaitu sebagai agen layanan publik. Padahal, dalam perspektif diakronik, sesungguhnya telah terjadi beberapa kali pergeseran paradigma fungsi birokrasi pemerintah dari model administrasi publik tradisional ke model manajemen publik baru, dan kini sedang menuju model pelayanan publik baru. Jadi, tampak adanya dinamika dalam paradigma fungsi birokrasi pemerintah seiring dengan pesatnya perkembangan dan penguatan masyarakat sipil.
Peluang Pembenahan
Untuk meningkatkan fungsi pelayanan publiknya, aparatur pemerintah harus dibuat lebih profesional. Dengan profesionalisme mereka akan bisa percaya diri (self confident) karena kemampuan memecahkan masalah (problem solving) yang selalu memihak pada kepentingan rakyat. Apabila diikuti pemikiran Abraham Lincoln bahwa demokrasi adalah pengejawantahan pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat, maka keberpihakan pada kepentingan rakyat mengacu pada yang terakhir. Kebebasan, keterbukaan dan kesamaan merupakan penjabaran pengertian pertama. Sedangkan profesionalisme yang meliputi akuntabilitas, responsibilitas dan responsivitas adalah refleksi pengertian yang kedua.
Aspek akuntabilitas mengisyaratkan supaya pelayanan publik lebih mengutamakan transparansi dan kesamaan akses setiap warganegara. Setiap warganegara berhak mendapatkan kesamaan akses dalam pelayanan publik yang mereka butuhkan. Proses dan harga pelayanan publik juga harus transparan , dan didukung oleh kepastian prosedur serta waktu pelayanan. Akuntabilitas aparatur pemerintah mengharuskan agar setiap tindakan yang dilakukan mesti dapat dipertanggungjawabkan kepada pihak yang menjadi sumber mandat dan otoritas yang dimiliki, yakni rakyat.
Oleh karenanya, aparatur pemerintah harus mempunyai responsibilitas (rasa tanggung jawab internal) terhadap segala yang dilakukannya. Moral dan etika publik dipakai landasan setiap perilaku, berupaya mempertajam kepekaan sosial serta meningkatkan responsivitas (daya tanggap) terhadap aspirasi, kebutuhan dan tuntutan rakyat. Aspek responsivitas menghendaki agar pelayanan publik bisa memenuhi kepentingan masyarakat. Agar birokrasi lebih responsif terhadap kepentingan masyarakat, Osborne dan Plastrik (1997) mengenalkan ide Citizen’s Charter (kontrak pelayanan), yakni adanya standar pelayanan publik yang ditetapkan berdasarkan masukan para stakeholders, termasuk pengguna layanan/ pelanggan dan birokrasi berjanji untuk memenuhinya. Dengan begitu, tugas aparatur pemerintah sejatinya adalah membawa mandat ke arah pelayanan segala kepentingan rakyat.