Jabatan sebagai pemimpin bukanlah hadiah, tapi sebagai amanah yang diberikan oleh masyarakat untuk dijalankan sebagaimana semestinya sesuai dengan peraturan yang berlaku. Jika sebuah jabatan dianggap hadiah, atau bahkan dianggap kompensasi dari masyarakat yang telah menerima 'sesuatu' dari calon pemimpinnya, maka tak jarang akan melahirkan model pemimpin yang korup. Karena pemimpin semacam ini akan berusaha mengembalikan 'modal' yang telah diberikan kepada pemilihnya. Siapapun itu, baik laki-laki maupun perempuan. Dan maraknya perempuan kepala daerah yang tertangkap OTT (Operasi Tangkap Tangan) KPK menjadi keprihatinan khalayak, terutama keprihatinan saya sebagai perempuan.
Komitmen saya sebagai perempuan terhadap pemberantasan korupsi, minimal telah saya buktikan pada Tahun 2010 yang lalu untuk mendaftarkan diri sebagai perempuan pertama yang mencalonkan diri sebagai Ketua KPK saat itu, meski belum mendapatkan kesempatan. Pada saat itu media menyebutnya sebagai 'srikandi' Indonesia yang berani mencalonkan diri sebagai Ketua KPK. Padahal saat itu lagi panas-panasnya berita soal tragedi pembunuhan yang ditujukan kepada pimpinan KPK saat itu.
Sayalah, perempuan kelahiran Pematang Siantar yang karena keprihatinan yang besar terhadap tingginya korupsi di Indonesia, tanpa ragu-ragu mendatangi kantor Menkumham untuk mendaftar sebagai Ketua KPK. Keberanian saya inilah yang --Alhamdulillah-- menginspirasi perempuan-perempuan lain untuk turut serta meramaikan pencalonan Ketua KPK pada periode selanjutnya. Dan akhirnya meramaikan media elektronik. Menurut Pak Rheinald Kasali, karena dianggap sesuatu dobrakan yang baru dan berani untuk kebaikan Indonesia ke depan.
Kini di era Presiden Jokowi kaum perempuan telah terwakili di lembaga anti rasuah (KPK) ini, dengan terpilihnya salah satu unsur pimpinan ketua KPK dari unsur perempuan, yaitu Ibu Basaria. Walau saya tidak terpilih menjadi Ketua KPK, setidaknya saya sudah berjuang membidani munculnya pemimpin perempuan di KPK. Dan yang lebih penting adalah untuk menegaskan bahwa saya sangat mendukung pemberantasan korupsi di negeri tercinta ini.
Banyaknya pemimpin perempuan di seluruh Indonesia yang tertangkap oleh KPK, memang menjadi keprihatinan kita, dan khususnya saya sebagai perempuan. Dan ini saya tegaskan bahwa mereka harus berani mempertanggungjawabkan perbuatanya, karena ternyata tidak amanah dalam menjalankan tugas/kepercayaan dari masyarakat.
Sejatinya pemimpin-pemimpin perempuan tersebut muncul untuk tampil di panggung politik nasional/daerah haruslah muncul dari dalam dirinya sendiri untuk melakukan perbaikan-perbaikan terhadap kinerja yang lalu yang belum baik dan belum sempurna. Bukannya muncul karena dorongan orang di sekelilingnya yang akhirnya menjadi euforia bagi calon pemimpin perempuan tersebut, dan bukan pula karena secara Undang-Undang dinyatakan bahwa siapapun berhak dipilih dan memilih.
Untuk menghadapi tantangan kepemimpinan di Indonesia yang sangat beragam serta belum meratanya pendidikan dan ekonomi masyarakat, sangat diperlukan sikap istiqomah dan mampu memutuskan sendiri, mana yang baik dan mana yang tidak. Di samping itu harus siap menanggung resiko dari keputusannya. Seorang pemimpin harus berada di dalam koridor yang sehat dan bertujuan baik bagi kemaslahatan (kebaikan) orang banyak.
Bila masih muncul pemimpin-pemimpin perempuan yang disebabkan karen euforia demokrasi dan dikendalikan orang di belakang layar (tdk dari diri sendri, mungkin karena ilmu dan pengalamannya kurang), maka jangan heran bila muncul pemimpin-pemimpin perempuan yang tertangkap KPK. Saya --Insya Allah-- tampil di dalam PilgubSu ini sudah istiqomah. Karena tidak main-main untuk menjadi pemimpin yang diandalkan, dengan semangat menyala dalam pemberantasan korupsi. Modal ini dapat menguatkan untuk tampil prima di pentas politik Nasional maupun daerah. *** Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H