Indonesia dibangun dari rasa persatuan dan kesatuan di antara banyak golongan, suku dan agama. Sungguh mulia para pendiri bangsa kita. Tak mengenal lelah, berani berkorban untuk terwujudnya Indonesia yang bersatu. Tentu kita harus bersyukur atas nikmat kemerdekaan ini. Dengan persatuan, cita-cita terwujud, untuk kemerdekaan dan menggapai cita-cita bersama.
Semua warga negara Indonesia sudah semestinya menjaga nilai-nilai persatuan ini, baik diwujudkan antar golongan, suku, ras, agama maupun dalam implementasi keseharian menjadi semangat persahabatan di antara teman. Semangat persahabatan semestinya diwujudkan dalam segala hal dalam kehidupan kita. Dalam bertetangga, berteman, berorganisasi, karir, bahkan untuk mencapai sebuah kekuasaan. Semangat persahabatan harus didasari dengan ketulusan, tanpa ini persahabatan hanya menjadi lips service semata.
Di era demokrasi saat ini, di mana jaman telah memasuki jaman era teknologi digital, banyak sekali orang yang ingin menjadi pemimpin dan mencari panggung kekuasaan dengan menebarkan 'citra' yang dianggap sebuah kebaikan, dengan berfoto selalu dengan masyarakat yang marginal, seakan-akan telah menjadi pahlawan bagi yang terpinggirkan. Padahal sangat bergantung pada ketulusan hatinya. Pemimpin yang tulus, akan melahirkan kebijakan yang baik untuk masyarakat yang dipimpinnya.
Kasihan bila mereka selalu dijadikan objek untuk bisa lolos menjadi pemimpin. Pantas saja kesejahteraan belum juga terwujud nyata. Seolah-olah ada yang sengaja dipertahankan dengan adanya masyarakat marginal ini. Sumut sangat mendambakan seorang pemimpin dengan jiwa yang tulus, tak membedakan golongan, ras, agama dan suku. Kesejahteraan untuk masyarakat menjadi pegangan yang utama bagi pemimpin yang baik, dan persahabatan untuk semua golongan menjadi kuncinya. Oleh karena itulah saya muncul dan selalu menggemakan rasa persahabatan untuk semua warga Sumut. Pemimpin yang bisa hadir untuk semua golongan akan diterima dengan baik oleh masyarakat, baik masyarakat levelelit yang telah sejahtera dan masyarakat yang masih perlu dibantu untuk mengubah mereka menjadi masyarakat sejahtera.
Saya tidak ingin mengambil moment kemarginalan mereka untuk kepentingan pribadi dalam tampil di panggung kepemimpinan Sumut. Saya tidak ingin pertahankan masyarakat marginal untuk dijadikan obyek terus-menerus oleh kelompok tertentu. Saya ingin mereka dirangkul, dalam konteks mitra dan persahabatan untuk membangun Sumut secara bersama-sama.
Budaya untuk mendapatkan simpati masyarakat secara palsu harus sudah diubah. Kalau hanya memberikan 'ikan' akibatnya jadi seperti ini terus. Saya akan memberikan 'kail'nya lewat ilmu agar pikiran semua masyarakat terbuka. Bagaimaan yang elit hidup tidak berfoya-foya dan cuekterhadap lingkungan, karena ini akan memancing lingkungan untuk berbuat kriminal. Serta Bagaimana golongan masyarakat umum yang sudah sejahtera juga mau hidup saling menghargai dan menghormati dengan sesama di lingkungannya. Kemudian bagi masyarakat marginal, bagaimana bisa dapat diberikan sesuatu yang dapat mengubah hidup mereka menjadi lebih baik. Bisa ilmu, lapangan pekerjaan maupun kesehatan untuk masyarakat. Dengan begitu tercipta masyarakat yang damai terhadap semua golongan dan ke depannya tidak ada lagi orang berkampanye hanya melulu mberikan ikan kepada masyarakat marginal, karena sudah pasti mereka tidak akan berubah. Maka menurut saya memberikan 'kail' akan lebih mencerdaskan masyarakat daripada memberikan 'ikan' yang dalam waktu 2 hari akan habis.
Semua itu kuncinya adalah ilmu. Dengan ilmu, masyarakat akan mengangkat dirinya sendiri secara mandiri untuk bersama-sama meraih kesejahteraan. Semoga bermanfaat. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H