Lihat ke Halaman Asli

Hsu

Seorang manusia biasa

Lelaki Muda Berpunggung Air Mata

Diperbarui: 23 Desember 2020   12:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sejauh kurang lebih lima sampai sepuluh kilometer langkah-langkah kokohnya menanggung beban sekarung besar barang-barang bekas yang bisa didaur ulang. Karung yang jika terisi penuh, menggembung hingga sebesar satu setengah sampai dua ekor sapi dewasa. Ia selalu memanggul karung itu di punggungnya dengan dua lengan berposisi di sebelah leher dan atas bahunya. Hingga membungkuk tubuhnya ketika beban terpanggul dan berjalan perlahan kadang dengan langkah terseret. 

Dua puluhan tahun usianya manakala ada yang bertanya ketika ia beristirahat setiap berapa puluh atau ratus meter. Selalu menggelengkan kepala sambil mengangukkan kepalanya menolak dengan sopan dan halus setiap bantuan yang akan terulur padanya. Entah itu untuk membeli gerobak dan sejenisnya yang bisa memudahkannya. Sambil tersenyum kecil kepada siapapun yang mengajaknya berbicara kala beristirahat sejenak.

***

Di tepian sebuah danau buatan yang beberapa bagian tepinya ditumbuhi pohon eceng gondok berbunga ungu muda. Begitu indahnya manakala setiap tangkai mempersembahkan bunga yang segar. Lelaki itu menghentikan langkahnya. Menyenderkan karungnya pada sebatang pohon angsana seukuran bamtal guling. Matanya mencari-cari sesuatu memandangi warung kopi berukuran sedang di seberang danau. Jam lima sore tanggal 22 Desember. Demikian yang tertangkap matanya. 

Lelaki itu membuka kaus lusuhnya lalu perlahan turun ke tepian danau. Membasuh wajahnya dengan air danau hingga merasa segar. Berenang perlahan agak ke tengah berusaha meraih tangkai bunga eceng yang bermunculan. Tiga tangkai ia ambil kemudian berenang ke tepi untuk seadanya mengeringkan tubuhnya bagian atas. Meraih kaus lusuhnya dan kembali berjalan perlahan sambil memanggul karung yang hampir penuh hanya saja sore itu agak sedikit berbeda , ada tiga tangkai bunga eceng di bagian atas karungnya.

***

Di sebuah pemakaman yang memang telah hampir sepuluh tahun lelaki muda itu menetap di tepian lahan pemakaman. Tinggal dan tidur dalam rumah berukuran hanya untuk tidur atau merebahkan kedua kakinya. Dengan bahan-bahan barang bekas entah itu kardus, potongan karpet, ataupun plastik.

Perlahan ia menghampiri sebuah makam dengan nisan kayu yang telah lapuk. Diletakkannya tiga tangkai bunga eceng yang ia petik di danau. Terduduk dengan tangan memeluk makam serta wajah tersandarkan di atas tanah makam. Air matanya mengalir tiada henti. Selamat hari ibu... demikian terucap pelan dari bibirnya.

Dalam tangisannya teringat kembali manakala ibunya dalam keadaan keluar darah dari hidung dan telinga di atas pembaringan. Tiada seorang pun. Hanya dirinya. Berusaha berkali-kali untuk menggendong tubuh lunglai ibunya kala itu. Sekitar usia kurang lebih sepuluh tahun. Dengan tubuh kecil berusaha untuk menggendong menaikkan tubuh ibunya. Teriakan dan tangisannya kala itu pun teredam oleh derasnya hujan...

***

"Ibu... kini tubuhku telah kuat jika aku harus menggendongmu hingga ke Syurga-NYA sekalipun...".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline